Selasa, 03 Januari 2017

MENENGOK TEATER TUBAN HARI INI


membaca kembali Parade Teater Tuban 2016


Sejak hari senin (10 Oktober 2016) hingga sabtu (15 Oktober 2016) Gedung Budaya Loka, Tuban terlihat lebih ramai dari biasanya. Berjejer sepeda motor dan mobil-mobil. Seniman lalu-lalang.
Parade Teater Tuban 2016 digelar, yang merupakan acara pembuka dari Tuban Art Festival (TAF) 2016. Parade yang dimeriahkan oleh hampir semua kalangan teater, mulai dari teater SMP, teater SMA, teater kampus dan teater umum. Itulah pesta teater. Apakah pesta hanya berisi hura-hura atau ada yang lebih bermakna? Maka tulisan inilah jawabannya.

Menengok
Kenapa menengok?
Teater Tuban memiliki ragam yang luar biasa (baik secara bentuk musik, bentuk keaktoran, bentuk skenografi/tata panggung dan lain sebagainya). Keragaman yang demikian besar itu tidak mungkin ditampilkan hanya dalam enam malam. Bagi saya, enam malam hanya pantas dikatakan sebagai menengok. Apa yang kita simpulkan dalam waktu enam malam sejatinya hanya kesimpulan sementara.
Tapi apa pentingnya menengok? Setidaknya dengan menengok, kita sedikit memiliki gambaran bagaimana teater Tuban saat ini.

Teater Pelajar, Teater Lomba
Teater Pelajar di Tuban adalah tulang punggung teater di Kabupaten Tuban. Sama halnya dengan Teater Kampus bagi kota Malang. Tanpa teater pelajar, sulit menjaga teater Tuban tetap bergeliat, bahkan anggotateater umum banyak yang berasal dari sekolah.
Teater pelajar yang tampil di Parade Teater Tuban 2016 adalah Teater Laskar (SMP 5 Tuban), Teater D’Blozzo (SMK 4 Tuban), Teater Hitam Putih (SMA 1 Tuban), Teater Micro (SMK 1 Tuban), Teater Angin (SMA 2 Tuban), Teater Mata (SMK TJP Tuban) dan Teater Taji (SMA 4 Tuban).
Teater Pelajar memang tidak bisa dipisahkan dengan lomba. Sehingga tidak berlebihan bila disebut sebagai teater lomba. Bagaimana tidak, teater pelajar dalam Parade Teater hampir semua menampilkan naskah yang telah atau akan ditampilkan dalam perlombaan. Ketergantungan teater pelajar dengan perlombaan berkaitan dengan tuntutan sekolah mengenai prestasi kelompok teater sekolah. Belum lagi soal kemalasan pembina teater untuk menggarap teater yang lebih bermutu. Sehingga bila dilihat dari kualitas tampilannya dalam Parade Teater, banyak persoalan yang mestinya harus segera diselesaikan. Persoalan itu berkaitan erat dengan hampir seluruh aspek teater. Persoalan yang paling dominan adalah soal keaktoran.
Keaktoran para pelajar rata-rata belum pada titik memahami dan mengekspresikan, tapi masih pada tahap meniru. Kalau peniruan itu melalui metode observasi yang mendalam, tidak jadi soal. Kalau peniruannya bersifat klise, itulah persoalannya. Peniruan yang hanya didasari tontonan televisi dan film tidak bermutu akan menghasilkan ekspresi, gestur dan intonasi yang tidak bermutu pula. Nampaknya para pelajar belum diajarkan metode observasi yang  cukup mendalam.
Di lain sisi, memang kita bisa temukan kualitas pada teater pelajar. Beberapa aktor memang menunjukkan bakat yang cemerlang. Kenapa saya sebut sebagai bakat? Karena proses pengolahan keaktoran yang minim tidak akan menghasilkan kemampuan bagus tanpa bakat. Bakat di sini yang saya maksud adalah kualitas suara yang jernih dan keras, kemampuan menerima informasi dengan cepat, kemampuan berimajinasi yang mendalam, dan kemampuan dalam mengekspresikan kedalaman perasaan. Tentu kalau kita hanya berharap mendapatkan aktor yang bagus, jumlahnya pasti sangat sedikit. Maka, sebaiknya metode pengembangan kemampuan teater bagi pelajar lebih diperdalam.
Kecenderungan yang tidak menyenangkan bila kita tengok teater pelajar saat ini adalah keberadaan metode sablon. Pembina yang tidak mampu mengembangkan aktornya berdasarkan kemampuan dan potensi (dan juga pembina yang malas) akan cenderung menggunakan pola ini. Aktor dipaksa melakukan teknik yang sama dan diturunkan setiap tahunnya. Sablon ini kemudian menghasilkan pola dialog, gestur, ekspresi yang sama antar aktor sehingga terjadi kegagalan karakterisasi. Kesamaan inilah yang mematikan potensi setiap aktor. Setiap aktor sejatinya memiliki potensi berbeda dalam hal akting. Pembina yang malas cenderung memahami setiap aktornya adalah lembaran kain kaos yang sama dan kosong, sehingga bisa disablon dengan pola yang sama. Padahal bila kita amati dengan lebih seksama, setiap aktor punya warna berbeda, punya pola potongan kain berbeda, punya pola jahitan berbeda, bahkan mereka bisa saja bukan kaos, tapi hem, jas, jaket, bahkan celana dalam.
Celakanya, itu terjadi bukan hanya pada komunitas teater pelajar yang sama, tapi terjadi secara lintas sekolah. Ternyata pola sablon itu telah menyebar ke distro yang lain, ke toko pakaian lain. Celaka!

Eksperimen Teater Kampus
Teater kampus adalah wadah ekperimen yang paling pas bagi teater. Betapa tidak, di kampus banyak sekali kemudahan. Tingginya kemampuan berfikir dan analisis, mudahnya mencari informasi dan mudahnya mencari teman diskusi adalah keuntungan luar biasa. Kemudahan ini nampaknya tidak termanfaatkan sepenuhnya nampak di Parade Teater tahun ini.
Eksperimen dalam berteater memang telah muncul dalam pertunjukan teman-teman Sendratasik UNESA melalui Estofogo dan Haqik. Kematangan dalam melakukan ekperimen muncul dalam kemampuan melakukan tafsir baru dari naskah Aljabar karya Zak Sorga dengan pendekatan Grotowski. Konsep keaktoran Grotowski dikaitkan dengan proses pencarian dalam Aljabar dan dibumikan lewat penggunaan properti lokal berupa daun bogor dan bambu (bethek). Meskipun proses ekperiment itu belum tuntas (yang merupakan penggalan dari keseluruhan penggarapan naskah Alajabar), setidaknya proses eksperimennya nampak dalam pertunjukan dan diskusi. Eksperimen kedua adalah eksperimen pantomim dengan pola narasi, gamelan dan kisah Sunan Kalijogo. Penyajian pantomim tidak melulu tanpa kata, tapi justru berkolaborasi dengan kata. Perpaduan narasi, pantomim dan musik nampak lebih cepat tertangkap penonton.
Sayangnya, keasyikan eksperimen itu tidak nampak pada pertunjukan Teater Institut dan TeaterLabu UNIROW. Jangankan berharap mendapatkan eksperimen yang menggairahkan, kita justru disuguhi ketidakmatangan. Ketidakmatangan itu berupa pemahaman naskah yang tidak tuntas, pemenggalan adegan yang tidak pas, juga mengelola struktur dramatik yang payah. Pemahaman naskah yang tidak tuntas dan pemenggalan adegan yang tidak pas nampak pada pertunjukan Kampung Maling 2. Kisah yang diharapkan akan mengalir justru tidak tersampaikan karena fragmen naskah yang ditampilkan kepada penonton tidak menggambarkan naskah secara utuh. Ditambah dengan kendala vocal dan grouping.
Sementara pementasan Teater Labu cenderung bertele-tele dan membosankan. Meskipun diisi dengan humor-humor, tapi menonton pertunjukan ini butuh kesabaran ekstra. Dialog-dialog disampaikan tanpa dinamika, blockingnya pun monoton. Gambaran realis tidak cukup tergambar dari set yang memenuhi panggung, karena masih cenderung 2 dimensi. Kendala lain adalah mengelolaan adegan yang tidak menantang. Ceritanya sebenarnya menarik tapi karena disampaikan secara bertele-tele dan lambat maka kenikmatannya jadi berkurang.

Kejujuran dan Warna Lain
Menonton teater independen atau umum dalam Parade Teater nampaknya punya sensasi berbeda. Sensasi itu rasanya akibat dari keragaman sajian. Teater PHK menampilkan kisah di lingkungannya, Teater Dor menyajikan kisah sederhana, Teater Kaleng menampilkan monolog, Teater Cristal menampilkan Performance Art.
Penampilan Teater PHK nampak begitu jujur dan orisinil. Isu-isu yang diangkat nampak sangat dekat dengan penonton. Secara umum struktur dramatiknya cukup menarik, hanya saja improvisasinya terlalu berlebihan. Improvisasi yang terlampau banyak cenderung monoton dan membosankan. Soal kegigihan dalam terus berkarya, kita patut acungkan jempol. Teater PHK harus dipisahkan dengan teater yang disiplin teaternya ketat. Teater PHK tidak menunjukkan teknik dramaturgi yang matang, tapi menunjukkan kesungguhan dalam berkesenian. Buktinya begitu sulit untuk membangun kelompok teater di desa, dengan segala kesibukan dan keruwetannya, apalagi bisa tetap produktif.
Teater Kaleng membawakan monolog. Aktor monolog nampak tak menguasai panggung dan justru tampak ditaklukkan panggungnya sendiri. Persoalan ini dibangun dari lemahnya vocal, penjiwaan dan pergerakan. Aktor terkesan kedodoran dan ngos-ngosan. Tentu saja, monolog membutuhkan pendalaman keaktoran yang lebih, sehingga pelatihannya tidak bisa setengah-setengah.
Teater Dor menampilkan teater yang cukup berbeda dari penampil-penampil lain. Bukan cuma karena penggunaan panggung di tengah penonton, tapi soal teknik pertunjukan. Teater Dor rasanya ingin mendobrak kebiasaan bahwa teater harus dibuka dengan musik yang meriah, pertunjukan ini justru dibuka dengan ketukan-ketukan kentongan saja. Hal lain yang coba didobrak adalah soal alur. Teater Dor sama sekali tidak menyuguhkan alur cerita yang menantang, tidak ada pula pola blocking yang menggairahkan, tapi penonton nampak penasaran hingga akhir pertunjukan. Rasa penasaran itulah yang nampaknya ingin disajikan Teater Dor. Wacana mengenai Teater Epik coba diaplikasikan dalam kultur penonton Tuban. Kendalanya adalah soal kematangan aktor dan perubahan orientasi panggung. Penggunaan flexible stage menuntut aktor untuk mampu berinteraksi dengan penonton di semua sisi, termasuk di belakangnya. Teknik ini yang sangat kontras dengan teknik panggung proscenium. Kurangnya kemampuan orientasi panggung ini cukup mengganggu.

Sebuah Reuni
Reuni juga menjadi topik dalam Parade Teater Tuban. Para sesepuh teater Tuban kembali merabai panggung. Teater Cristal yang adalah teater pertama di Tuban kembali unjuk gigi. Penonton disuguhi perpaduan antara seni rupa, dramatic reading, tari dan musik. Sebagai seni pertunjukan yang paling muda umurnya, performing art memang ditujukan untuk memuaskan semua penggila seni pertunjukan. Semua elemen seni pertunjukan coba disajikan secara utuh.
Megatruh yang digarap Teater Cristal nampaknya memiliki semangat yang sama, hanya saja tidak tercapai. Filosofi fragmen Macapat yang bermakna proses terpisahnya ruh dan tubuh ini nampak hanya ajang parade. Mungkin tidak berlebih bila dikatakan “Parade sesungguhnya dalam acara ini adalah pertunjukan Megatruh.” Pentas Megatruh cenderung bergerak sendiri-sendiri. Meskipun memiliki isi yang sama, tapi pola pertunjukannya terpisah. Seakan-akan dramatic reading, tari, dan lukis berpentas sendiri-sendiri. Mungkin makna Megatruh bisa dipahami sebagai Megat-Kaweruh. Penonton dipaksa untuk menonton sesuatu yang tidak berkesinambungan, pemahaman penonton jadi dibingungkan oleh ketidakjelasan dialog, blocking monoton, ketidakjelasan fungsi properti, dan individualisme pelukis. Satu aspek yang mencoba terus mendukung adalah musik, meskipun gagal membangun harmoni diantara penampil lain. Benar-benar Megat-Kaweruh.
Rasanya pertunjukan Teater Cristal lebih baik kita sikapi sebagai hanya reuni. Cukup itu saja.

Oase
Di tengah segala keruwetan dan keseriusan Parade Teater Tuban 2016, untungnya masih kita temukan oase. Oase itu dihadirkan oleh SMA 4 Tuban dengan lakon Kobongan. Kenapa oase? Setidaknya kita bisa tertawa dengan lantang. Tentu catatannya, jangan menggunakan kepala teaterawan. Tak perlu bicara soal dramaturgi ketika menonton Kobongan. Nikmati saja. Seperti juga oase, keberadaan oase di tengah gurun pasir tak perlu kita pertanyakan (kita para pengembara yang haus dan lapar akan keindahan seni), cukup kita nikmati segar airnya, buah-buahannya, keteduhannya.
Pola guyonan yang jujur dan rapi membuat kita bisa bernafas lega sesaat. Soal properti yang amat sederhana, mungkin saja adalah strategi untuk membuat penonton hanya fokus pada aktor (sebagai aplikasi teknik Teater Melarat Grotowski), atau sekedar lemahnya kemampuan penataan panggung. Tapi yang jelas, kami terhibur. Untuk itu, perlu disampaikan “Terima kasih.”
Oase lain juga adalah kehadiran wayang kulit oleh siswa SMA. Kehadiran wayang dalam teater sebetulnya bukan hal baru, misalnya keterlibatan wayang tavip yang dikolaborasikan dengan Teater Koma lewat lakon Trilogi Sie Jien Kwie. Sehingga perlu ditunggu kolaborasi antara wayang kulit dan teater, sehingga lebih mudah diserap oleh semua kalangan, terutama anak muda.
Sementara keberadaan Standup Comedy dan menyanyi rasanya hanya angin yang datang di oase dan berlalu begitu saja.

Diskusi
Perbedaan Parade Teater ini dengan pertunjukan teater selama ini bukan hanya karena ini adalah pentas dari banyak teater di Tuban, tapi yang lebih penting adalah diskusinya.
Pentas-pentas sebelumnya hanya menyisakan diskusi yang tidak bermutu. Kalimat-kalimat seperti “Selamat telah pentas... penampilannya bagus...” nampak tidak terlalu berguna di Parade Teater. Diskusi dibangun dengan semangat diskusi, bukan pujian yang seringkali membunuh keinginan belajar. Dalam diskusi yang disusun setelah pertunjukan setiap harinya banyak dijumpai penggalian-penggalian proses penggarapan yang lebih esensi. Penggalian konsep, penggalian pemahaman, penggalian keberanian mempertanggungjawabkan dan penggalian aspek artistik lain menjadi keunggulan. Dalam diskusi semacam ini akan terlihat sutradara, para penata dan aktor yang kurang memahami atau cukup memahami pertunjukan yang disajikan. Dalam diskusi macam ini juga dapat diperoleh ilmu-ilmu teater, baik dari referensi maupun dari pengalaman yang tergali.
Diskusi inilah yang membuat teater menjadi tidak “angker.” Teater seharusnya memang terus dipertanyakan. Mempertanyakan teater adalah upaya untuk menghindari terbentuknya teater mistik. Teater mistik merupakan teater yang berhenti pada sabda dan menjadi “haram” dipertanyakan aspek-aspek di dalamnya. Teater mistik biasanya mengandalkan “sabda” sang “dewa.” Sang “dewa” memberikan satu-satunya kebenaran teater sehingga semua harus mengikuti dan dilarang mempertanyakan (seperti kebanyakan prosesi mistik leluhur, bagaimana sang dukun menjadi “dewa”).
Bagaimanapun sutradara harus mampu mempertanggungjawabkan karyanya. Bukan justru kabur, meminta belas-kasih dengan mengungkapkan keterbatasan waktu penggarapan atau justru bersembunyi di balik ketiak pembina. Menjadi sutradara adalah pilihan, dan pilihan harus mampu dipertanggungjawabkan.
Sebagai catatan, peran teater pelajar dalam diskusi memang tergolong minim. Diskusi didominasi para pegiat teater yang lebih senior. Rasanya keterlibatan teater pelajar harus menjadi perhatian pada Parade Teater Tuban yang mendatang.

Karena ini adalah hasil tengokan, maka tulisan ini bisa jadi salah, bisa jadi benar adanya. Sejatinya, tulisan ini hanya ingin mengabadikan. Tidak lebih.

Tuban, 18 Oktober 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar