membaca kembali Parade Teater Tuban 2016
Sejak hari senin (10 Oktober 2016) hingga sabtu (15 Oktober
2016) Gedung Budaya Loka, Tuban terlihat lebih ramai dari biasanya. Berjejer
sepeda motor dan mobil-mobil. Seniman lalu-lalang.
Parade Teater Tuban 2016 digelar, yang merupakan acara
pembuka dari Tuban Art Festival (TAF) 2016. Parade yang dimeriahkan oleh hampir
semua kalangan teater, mulai dari teater SMP, teater SMA, teater kampus dan
teater umum. Itulah pesta teater. Apakah pesta hanya berisi hura-hura atau ada
yang lebih bermakna? Maka tulisan inilah jawabannya.
Menengok
Kenapa
menengok?
Teater Tuban memiliki ragam yang luar biasa (baik secara
bentuk musik, bentuk keaktoran, bentuk skenografi/tata panggung dan lain
sebagainya). Keragaman yang demikian besar itu tidak mungkin ditampilkan hanya
dalam enam malam. Bagi saya, enam malam hanya pantas dikatakan sebagai
menengok. Apa yang kita simpulkan dalam waktu enam malam sejatinya hanya
kesimpulan sementara.
Tapi apa pentingnya menengok? Setidaknya dengan menengok,
kita sedikit memiliki gambaran bagaimana teater Tuban saat ini.
Teater
Pelajar, Teater Lomba
Teater Pelajar di Tuban adalah tulang punggung teater di
Kabupaten Tuban. Sama halnya dengan Teater Kampus bagi kota Malang. Tanpa
teater pelajar, sulit menjaga teater Tuban tetap bergeliat, bahkan
anggotateater umum banyak yang berasal dari sekolah.
Teater pelajar yang tampil di Parade Teater Tuban 2016 adalah
Teater Laskar (SMP 5 Tuban), Teater D’Blozzo (SMK 4 Tuban), Teater Hitam Putih
(SMA 1 Tuban), Teater Micro (SMK 1 Tuban), Teater Angin (SMA 2 Tuban), Teater
Mata (SMK TJP Tuban) dan Teater Taji (SMA 4 Tuban).
Teater Pelajar memang tidak bisa dipisahkan dengan lomba.
Sehingga tidak berlebihan bila disebut sebagai teater lomba. Bagaimana tidak,
teater pelajar dalam Parade Teater hampir semua menampilkan naskah yang telah
atau akan ditampilkan dalam perlombaan. Ketergantungan teater pelajar dengan
perlombaan berkaitan dengan tuntutan sekolah mengenai prestasi kelompok teater
sekolah. Belum lagi soal kemalasan pembina teater untuk menggarap teater yang
lebih bermutu. Sehingga bila dilihat dari kualitas tampilannya dalam Parade
Teater, banyak persoalan yang mestinya harus segera diselesaikan. Persoalan itu
berkaitan erat dengan hampir seluruh aspek teater. Persoalan yang paling
dominan adalah soal keaktoran.
Keaktoran para pelajar rata-rata belum pada titik memahami
dan mengekspresikan, tapi masih pada tahap meniru. Kalau peniruan itu melalui
metode observasi yang mendalam, tidak jadi soal. Kalau peniruannya bersifat
klise, itulah persoalannya. Peniruan yang hanya didasari tontonan televisi dan
film tidak bermutu akan menghasilkan ekspresi, gestur dan intonasi yang tidak
bermutu pula. Nampaknya para pelajar belum diajarkan metode observasi yang cukup mendalam.
Di lain sisi, memang kita bisa temukan kualitas pada teater
pelajar. Beberapa aktor memang menunjukkan bakat yang cemerlang. Kenapa saya
sebut sebagai bakat? Karena proses pengolahan keaktoran yang minim tidak akan
menghasilkan kemampuan bagus tanpa bakat. Bakat di sini yang saya maksud adalah
kualitas suara yang jernih dan keras, kemampuan menerima informasi dengan
cepat, kemampuan berimajinasi yang mendalam, dan kemampuan dalam
mengekspresikan kedalaman perasaan. Tentu kalau kita hanya berharap mendapatkan
aktor yang bagus, jumlahnya pasti sangat sedikit. Maka, sebaiknya metode
pengembangan kemampuan teater bagi pelajar lebih diperdalam.
Kecenderungan yang tidak menyenangkan bila kita tengok teater
pelajar saat ini adalah keberadaan metode sablon. Pembina yang tidak mampu
mengembangkan aktornya berdasarkan kemampuan dan potensi (dan juga pembina yang
malas) akan cenderung menggunakan pola ini. Aktor dipaksa melakukan teknik yang
sama dan diturunkan setiap tahunnya. Sablon ini kemudian menghasilkan pola
dialog, gestur, ekspresi yang sama antar aktor sehingga terjadi kegagalan
karakterisasi. Kesamaan inilah yang mematikan potensi setiap aktor. Setiap
aktor sejatinya memiliki potensi berbeda dalam hal akting. Pembina yang malas
cenderung memahami setiap aktornya adalah lembaran kain kaos yang sama dan
kosong, sehingga bisa disablon dengan pola yang sama. Padahal bila kita amati
dengan lebih seksama, setiap aktor punya warna berbeda, punya pola potongan
kain berbeda, punya pola jahitan berbeda, bahkan mereka bisa saja bukan kaos,
tapi hem, jas, jaket, bahkan celana dalam.
Celakanya, itu terjadi bukan hanya pada komunitas teater
pelajar yang sama, tapi terjadi secara lintas sekolah. Ternyata pola sablon itu
telah menyebar ke distro yang lain, ke toko pakaian lain. Celaka!
Eksperimen Teater Kampus
Teater kampus adalah wadah ekperimen yang paling pas bagi
teater. Betapa tidak, di kampus banyak sekali kemudahan. Tingginya kemampuan
berfikir dan analisis, mudahnya mencari informasi dan mudahnya mencari teman
diskusi adalah keuntungan luar biasa. Kemudahan ini nampaknya tidak
termanfaatkan sepenuhnya nampak di Parade Teater tahun ini.
Eksperimen dalam berteater memang telah muncul dalam pertunjukan
teman-teman Sendratasik UNESA melalui Estofogo dan Haqik. Kematangan dalam
melakukan ekperimen muncul dalam kemampuan melakukan tafsir baru dari naskah
Aljabar karya Zak Sorga dengan pendekatan Grotowski. Konsep keaktoran Grotowski
dikaitkan dengan proses pencarian dalam Aljabar dan dibumikan lewat penggunaan
properti lokal berupa daun bogor dan bambu (bethek). Meskipun proses ekperiment
itu belum tuntas (yang merupakan penggalan dari keseluruhan penggarapan naskah
Alajabar), setidaknya proses eksperimennya nampak dalam pertunjukan dan
diskusi. Eksperimen kedua adalah eksperimen pantomim dengan pola narasi,
gamelan dan kisah Sunan Kalijogo. Penyajian pantomim tidak melulu tanpa kata,
tapi justru berkolaborasi dengan kata. Perpaduan narasi, pantomim dan musik
nampak lebih cepat tertangkap penonton.
Sayangnya, keasyikan eksperimen itu tidak nampak pada
pertunjukan Teater Institut dan TeaterLabu UNIROW. Jangankan berharap
mendapatkan eksperimen yang menggairahkan, kita justru disuguhi ketidakmatangan.
Ketidakmatangan itu berupa pemahaman naskah yang tidak tuntas, pemenggalan
adegan yang tidak pas, juga mengelola struktur dramatik yang payah. Pemahaman
naskah yang tidak tuntas dan pemenggalan adegan yang tidak pas nampak pada
pertunjukan Kampung Maling 2. Kisah yang diharapkan akan mengalir justru tidak
tersampaikan karena fragmen naskah yang ditampilkan kepada penonton tidak
menggambarkan naskah secara utuh. Ditambah dengan kendala vocal dan grouping.
Sementara pementasan Teater Labu cenderung bertele-tele dan
membosankan. Meskipun diisi dengan humor-humor, tapi menonton pertunjukan ini
butuh kesabaran ekstra. Dialog-dialog disampaikan tanpa dinamika, blockingnya
pun monoton. Gambaran realis tidak cukup tergambar dari set yang memenuhi
panggung, karena masih cenderung 2 dimensi. Kendala lain adalah mengelolaan
adegan yang tidak menantang. Ceritanya sebenarnya menarik tapi karena
disampaikan secara bertele-tele dan lambat maka kenikmatannya jadi berkurang.
Kejujuran
dan Warna Lain
Menonton teater independen atau umum dalam Parade Teater
nampaknya punya sensasi berbeda. Sensasi itu rasanya akibat dari keragaman
sajian. Teater PHK menampilkan kisah di lingkungannya, Teater Dor menyajikan
kisah sederhana, Teater Kaleng menampilkan monolog, Teater Cristal menampilkan
Performance Art.
Penampilan Teater PHK nampak begitu jujur dan orisinil.
Isu-isu yang diangkat nampak sangat dekat dengan penonton. Secara umum struktur
dramatiknya cukup menarik, hanya saja improvisasinya terlalu berlebihan.
Improvisasi yang terlampau banyak cenderung monoton dan membosankan. Soal
kegigihan dalam terus berkarya, kita patut acungkan jempol. Teater PHK harus
dipisahkan dengan teater yang disiplin teaternya ketat. Teater PHK tidak
menunjukkan teknik dramaturgi yang matang, tapi menunjukkan kesungguhan dalam
berkesenian. Buktinya begitu sulit untuk membangun kelompok teater di desa,
dengan segala kesibukan dan keruwetannya, apalagi bisa tetap produktif.
Teater Kaleng membawakan monolog. Aktor monolog nampak tak
menguasai panggung dan justru tampak ditaklukkan panggungnya sendiri. Persoalan
ini dibangun dari lemahnya vocal, penjiwaan dan pergerakan. Aktor terkesan
kedodoran dan ngos-ngosan. Tentu saja, monolog membutuhkan pendalaman keaktoran
yang lebih, sehingga pelatihannya tidak bisa setengah-setengah.
Teater Dor menampilkan teater yang cukup berbeda dari
penampil-penampil lain. Bukan cuma karena penggunaan panggung di tengah
penonton, tapi soal teknik pertunjukan. Teater Dor rasanya ingin mendobrak
kebiasaan bahwa teater harus dibuka dengan musik yang meriah, pertunjukan ini
justru dibuka dengan ketukan-ketukan kentongan saja. Hal lain yang coba
didobrak adalah soal alur. Teater Dor sama sekali tidak menyuguhkan alur cerita
yang menantang, tidak ada pula pola blocking yang menggairahkan, tapi penonton
nampak penasaran hingga akhir pertunjukan. Rasa penasaran itulah yang nampaknya
ingin disajikan Teater Dor. Wacana mengenai Teater Epik coba diaplikasikan
dalam kultur penonton Tuban. Kendalanya adalah soal kematangan aktor dan
perubahan orientasi panggung. Penggunaan flexible stage menuntut aktor
untuk mampu berinteraksi dengan penonton di semua sisi, termasuk di
belakangnya. Teknik ini yang sangat kontras dengan teknik panggung proscenium.
Kurangnya kemampuan orientasi panggung ini cukup mengganggu.
Sebuah
Reuni
Reuni juga menjadi topik dalam Parade Teater Tuban. Para
sesepuh teater Tuban kembali merabai panggung. Teater Cristal yang adalah
teater pertama di Tuban kembali unjuk gigi. Penonton disuguhi perpaduan antara
seni rupa, dramatic reading, tari dan musik. Sebagai seni pertunjukan
yang paling muda umurnya, performing art memang ditujukan untuk
memuaskan semua penggila seni pertunjukan. Semua elemen seni pertunjukan coba
disajikan secara utuh.
Megatruh yang digarap Teater Cristal nampaknya memiliki
semangat yang sama, hanya saja tidak tercapai. Filosofi fragmen Macapat yang
bermakna proses terpisahnya ruh dan tubuh ini nampak hanya ajang parade.
Mungkin tidak berlebih bila dikatakan “Parade sesungguhnya dalam acara ini adalah
pertunjukan Megatruh.” Pentas Megatruh cenderung bergerak sendiri-sendiri.
Meskipun memiliki isi yang sama, tapi pola pertunjukannya terpisah. Seakan-akan
dramatic reading, tari, dan lukis berpentas sendiri-sendiri. Mungkin
makna Megatruh bisa dipahami sebagai Megat-Kaweruh. Penonton dipaksa untuk
menonton sesuatu yang tidak berkesinambungan, pemahaman penonton jadi
dibingungkan oleh ketidakjelasan dialog, blocking monoton,
ketidakjelasan fungsi properti, dan individualisme pelukis. Satu aspek yang
mencoba terus mendukung adalah musik, meskipun gagal membangun harmoni diantara
penampil lain. Benar-benar Megat-Kaweruh.
Rasanya pertunjukan Teater Cristal lebih baik kita sikapi
sebagai hanya reuni. Cukup itu saja.
Oase
Di tengah segala keruwetan dan keseriusan Parade Teater Tuban
2016, untungnya masih kita temukan oase. Oase itu dihadirkan oleh SMA 4 Tuban
dengan lakon Kobongan. Kenapa oase? Setidaknya kita bisa tertawa dengan
lantang. Tentu catatannya, jangan menggunakan kepala teaterawan. Tak perlu bicara
soal dramaturgi ketika menonton Kobongan. Nikmati saja. Seperti juga oase,
keberadaan oase di tengah gurun pasir tak perlu kita pertanyakan (kita para
pengembara yang haus dan lapar akan keindahan seni), cukup kita nikmati segar
airnya, buah-buahannya, keteduhannya.
Pola guyonan yang jujur dan rapi membuat kita bisa bernafas
lega sesaat. Soal properti yang amat sederhana, mungkin saja adalah strategi
untuk membuat penonton hanya fokus pada aktor (sebagai aplikasi teknik Teater
Melarat Grotowski), atau sekedar lemahnya kemampuan penataan panggung. Tapi
yang jelas, kami terhibur. Untuk itu, perlu disampaikan “Terima kasih.”
Oase lain juga adalah kehadiran wayang kulit oleh siswa SMA.
Kehadiran wayang dalam teater sebetulnya bukan hal baru, misalnya keterlibatan
wayang tavip yang dikolaborasikan dengan Teater Koma lewat lakon Trilogi Sie
Jien Kwie. Sehingga perlu ditunggu kolaborasi antara wayang kulit dan teater,
sehingga lebih mudah diserap oleh semua kalangan, terutama anak muda.
Sementara keberadaan Standup Comedy dan menyanyi
rasanya hanya angin yang datang di oase dan berlalu begitu saja.
Diskusi
Perbedaan Parade Teater ini dengan pertunjukan teater selama
ini bukan hanya karena ini adalah pentas dari banyak teater di Tuban, tapi yang
lebih penting adalah diskusinya.
Pentas-pentas sebelumnya hanya menyisakan diskusi yang tidak
bermutu. Kalimat-kalimat seperti “Selamat telah pentas... penampilannya
bagus...” nampak tidak terlalu berguna di Parade Teater. Diskusi dibangun
dengan semangat diskusi, bukan pujian yang seringkali membunuh keinginan
belajar. Dalam diskusi yang disusun setelah pertunjukan setiap harinya banyak
dijumpai penggalian-penggalian proses penggarapan yang lebih esensi. Penggalian
konsep, penggalian pemahaman, penggalian keberanian mempertanggungjawabkan dan
penggalian aspek artistik lain menjadi keunggulan. Dalam diskusi semacam ini
akan terlihat sutradara, para penata dan aktor yang kurang memahami atau cukup
memahami pertunjukan yang disajikan. Dalam diskusi macam ini juga dapat diperoleh
ilmu-ilmu teater, baik dari referensi maupun dari pengalaman yang tergali.
Diskusi inilah yang membuat teater menjadi tidak “angker.”
Teater seharusnya memang terus dipertanyakan. Mempertanyakan teater adalah
upaya untuk menghindari terbentuknya teater mistik. Teater mistik merupakan
teater yang berhenti pada sabda dan menjadi “haram” dipertanyakan aspek-aspek
di dalamnya. Teater mistik biasanya mengandalkan “sabda” sang “dewa.” Sang
“dewa” memberikan satu-satunya kebenaran teater sehingga semua harus mengikuti
dan dilarang mempertanyakan (seperti kebanyakan prosesi mistik leluhur,
bagaimana sang dukun menjadi “dewa”).
Bagaimanapun sutradara harus mampu mempertanggungjawabkan
karyanya. Bukan justru kabur, meminta belas-kasih dengan mengungkapkan keterbatasan
waktu penggarapan atau justru bersembunyi di balik ketiak pembina. Menjadi
sutradara adalah pilihan, dan pilihan harus mampu dipertanggungjawabkan.
Sebagai catatan, peran teater pelajar dalam diskusi memang
tergolong minim. Diskusi didominasi para pegiat teater yang lebih senior.
Rasanya keterlibatan teater pelajar harus menjadi perhatian pada Parade Teater
Tuban yang mendatang.
Karena ini adalah hasil tengokan, maka tulisan ini bisa jadi
salah, bisa jadi benar adanya. Sejatinya, tulisan ini hanya ingin mengabadikan.
Tidak lebih.
Tuban, 18 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar