Selasa, 03 Januari 2017

YANG MENG-KRISTAL KINI KEMBALI LEBUR

catatan penonton lakon SRIE

Dimulai dengan pembentukan inti dan kemudian berlanjut dengan perkembangan dalam waktu yang demikian lama, begitulah kristal dibentuk. Demikian lamanya proses kristalisasi sehingga mengakibatkan kristal susah sekali dileburkan, terutama dalam bentuk intan. Hal berbeda kita temui di panggung Gedung Dinas Pendidikan Tuban selama dua malam (25 & 26 November 2016). Kristal yang kebetulan dalam bentuk yang tidak lazim ini--yaitu Teater Kriatal--bisa sedemikian cair dan lebur. Tentu sangat berbeda dengan pertunjukan Teater Kristal pada Parade Teater Tuban yang lalu. Ibarat senam, pentas terdahulu baru pemanasan, sedangkan pentas kali ini adalah gerakan yang mulai masuk ke inti senam.

TANGGA DRAMATIK LEMAH
Pertunjukan SRIE berjalan cukup lambat, adegan-adegan tidak disusun secara lebih energik. Sebenarnya dialog sudah cukup efisien, tapi susunan adegan tidak memberikan tantangan lebih untuk aktor. Sehingga tidak berlebih kalau dikatakan bahwa tangga dramatik SRIE cenderung datar. Puncak konflik di adegan penutup pun tidak cukup membantu. Hal ini diperparah dengan komposisi musik yang "lembek". Salah satu unsur yang mampu membantu menguatkan ritme permainan dan membangun drama adalah musik. Apabila aktor tidak mampu membangun klimaks yang "menyenangkan", maka musiklah yang harusnya berperan banyak. Sayang sekali itu tidak terjadi. Musik terdengar ragu.

ARTISTIK FORMALITAS
Aspek artistik seperti skenografi dan tata cahaya terkesan seadanya. Skenografi (sering disebut sebagai tata panggung) cenderung lemah dan tidak mendukung secara signifikan. Setting menggunakan motif mega mendung. Hal ini cukup aneh karena mega mendung umumnya digunakan dalam menggambarkan khayangan, tetapi seluruh adegan terjadi di bumi. Sehingga motif mega mendung justru mengganggu.
Penggunaan tirai di semua adegan juga mengaburkan orientasi tempat. Hal ini tentu merugikan. Mungkin yang diharapkan adalah set multifungsi, tapi yang terjadi justru set tidak dinamis dan cenderung mengganggu.
Cahaya dalam SRIE hanya berfungsi sebagai penerangan. Lampu telah kehilangan fungsi dukungnya terhadap pertunjukan. Fungsinya sebagai penanda waktu, pembangun suasana dan fungsi membentuk 3 dimensi telah diabaikan.
Maka, skenografi dan tata cahaya hanya bersifat formalitas. Meski demikian, ada yang cukup "menyenangkan" untuk dilihat, yaitu busana. Busana yang dikenakan cukup menggambarkan penokohan. Misalnya rombongan dari Lamongan menggunakan pakaian dominan merah. Keberpihakan terlihat jelas lewat warna. Dengan warna merah itulah penonton mudah memahami bahwa merekalah tokoh-tokoh jahat. Penokohan macam ini sangat lazim pada tradisi Jawa, terutama pada wayang kulit dan wayang orang. Alangkah lebih indah andai pihak Tuban bisa menggunakan atribut yang menjadi ciri khas Tuban, misalnya batik Tuban. Tentu ini akan memudahkan penonton membedakan antara pihak Tuban dan Bojonegoro.
Sementara bila dilihat tata riasnya, lakon SRIE cenderung tanpa arah. Ada beberapa tokoh yang menggunakan rias cantik, ada yang menggunakan rias floral, ada pula yang rias badut. Ketidakseragaman konsep itu sangat mengganggu. Rias floral misalnya, justru bukan menguatkan karakter tapi malah me-"lembek"-kan aktor laki-laki yang berperan sebagai utusan dan pangeran. Sedangkan rias badut pada dua abdi raja Lamongan nampak tidak kompak. Rias mereka seperti hasil merias dengan mata tertutup. Rias yang diharapkan mampu mendukung karakterisasi tokoh justru malah mengaburkannya.

SRIE YANG TERABAIKAN
Lakon ini diberi judul SRIE, tapi tokoh Srie tidak cukup dominan. Penokohan Srie yang diharapkan sebagai patriot wanita selayaknya Srikandi, sama sekali tidak nampak. Srie di panggung hanya nampak sebagai gadis yang kasmaran. Ini persoalan naskah, saya kira.

KEDODORAN
SRIE dibangun oleh aktor dan aktris lintas masa, mulai dari yang masih SMA sampai yang sudah penuh uban. Ritme permainan yang lambat cukup menguntungkan bagi aktor tua, tapi menenggelamkan potensi aktor muda. Meskipun menguntungkan, tapi aktor tua nampak kedodoran dalam soal tempo. Dua abdi raja Lamongan misalnya, guyonan dan ping-pong mereka terlalu lambat dan tidak mampu mengelola penekanan dialog. Dua sosok yang harusnya bisa membawa tawa di tengah drama yang lambat itu ikut lambat juga. Masalah lain adalah kualitas vokal yang lemah. Masalah ini memang tidak terjadi pada semua aktor, tapi keberadaannya cukup mengurangi penyampaian cerita ke penonton.
Tokoh Srie memiliki dialog yang cukup panjang. Ketika dialog itu ditampilkan, terkesan monoton dan tertata. Perpindahan dialog dan blocking terlihat tidak natural. Bagaimanapun, seharusnya monolog semacam itu perlu digarap lebih intens karena akan sangat menyita perhatian penonton.
Pada leaflet halaman 1, paragraf 4 tertulis "...cerita legenda yang dikemas secara modern, stamina, hafalan..." Soal stamina jelas kedodoran. Mungkin tinggal soal hafalan itu yang nampak secara nyata. Sebagian besar aktor secara jelas masih terlihat menghafal, belum sampai pada tahap menyelami peran.

MUMPUNG ADA KESEMPATAN
"Kami punya WBL dan Gua Maharani, Tuban punya apa?" tanya rombongan dari kerajaan Lamongan. Rombongan kerajaan Tuban diam. Rombongan kerajaan Lamongan melanjutkan, "Boom? Seperti WC umum. Rest Area? Kelip-kelip sebentar lagi mati. Gedung kesenian? Yang ada cuma gedung nikahan."
Begitulah kritik lakon SRIE di depan pejabat Tuban yang ikut menonton. Bagaimanapun, begitulah kenyataannya dan telah disuarakan.
Memang urgen rasanya soal gedung kesenian. Sebab di sanalah seniman bisa berpentas atau sekedar diskusi tanpa rebutan dengan acara nikahan. Kesenian yang berkembang pesat di beberapa kota besar diidentikkan dengan gedung kesenian. TIM misalnya menjadi tempat berkumpul, berdiskusi, berlatik dan berpentas bagi seniman-seniman di sekitar Jakarta. Bahkan terdapat subsidi bagi kelompok teater berkualitas untuk berpentas di sana.
Mumpung ada kesempatan, memang pas untuk menyuarakan kritik. Ini adalah bentuk kepedulian pada lingkungan. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong mengatakan:
"Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan."

SEMANGAT LUAR BIASA
Terlepas dari kekurangan sana-sini, terlepas soal kesalahan dialog, pertunjukan SRIE cukup menarik untuk dilihat dari sisi lain. Semangat di usia tua untuk tetap berteater itulah yang patut menjadi teladan. Di tengah segala aktivitas tapi tetap bisa menyuguhkan pertunjukan yang bagus. Semangat inilah yang semoga tetap menyala, bahkan semoga semakin membara. Kemudian ikut membakar semangat penggiat teater lainnya. Semoga bara itu abadi, membakar gairah seni.


Tuban-Surabaya, 27 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar