catatan penonton lakon SRIE
Dimulai dengan pembentukan inti dan kemudian berlanjut
dengan perkembangan dalam waktu yang demikian lama, begitulah kristal dibentuk.
Demikian lamanya proses kristalisasi sehingga mengakibatkan kristal susah
sekali dileburkan, terutama dalam bentuk intan. Hal berbeda kita temui di
panggung Gedung Dinas Pendidikan Tuban selama dua malam (25 & 26 November
2016). Kristal yang kebetulan dalam bentuk yang tidak lazim ini--yaitu Teater
Kriatal--bisa sedemikian cair dan lebur. Tentu sangat berbeda dengan
pertunjukan Teater Kristal pada Parade Teater Tuban yang lalu. Ibarat senam,
pentas terdahulu baru pemanasan, sedangkan pentas kali ini adalah gerakan yang
mulai masuk ke inti senam.
TANGGA DRAMATIK LEMAH
Pertunjukan SRIE berjalan cukup lambat, adegan-adegan tidak
disusun secara lebih energik. Sebenarnya dialog sudah cukup efisien, tapi
susunan adegan tidak memberikan tantangan lebih untuk aktor. Sehingga tidak
berlebih kalau dikatakan bahwa tangga dramatik SRIE cenderung datar. Puncak
konflik di adegan penutup pun tidak cukup membantu. Hal ini diperparah dengan
komposisi musik yang "lembek". Salah satu unsur yang mampu membantu
menguatkan ritme permainan dan membangun drama adalah musik. Apabila aktor
tidak mampu membangun klimaks yang "menyenangkan", maka musiklah yang
harusnya berperan banyak. Sayang sekali itu tidak terjadi. Musik terdengar ragu.
ARTISTIK FORMALITAS
Aspek artistik seperti skenografi dan tata cahaya terkesan
seadanya. Skenografi (sering disebut sebagai tata panggung) cenderung lemah dan
tidak mendukung secara signifikan. Setting menggunakan motif mega mendung. Hal
ini cukup aneh karena mega mendung umumnya digunakan dalam menggambarkan
khayangan, tetapi seluruh adegan terjadi di bumi. Sehingga motif mega mendung
justru mengganggu.
Penggunaan tirai di semua adegan juga mengaburkan orientasi
tempat. Hal ini tentu merugikan. Mungkin yang diharapkan adalah set
multifungsi, tapi yang terjadi justru set tidak dinamis dan cenderung mengganggu.
Cahaya dalam SRIE hanya berfungsi sebagai penerangan. Lampu
telah kehilangan fungsi dukungnya terhadap pertunjukan. Fungsinya sebagai
penanda waktu, pembangun suasana dan fungsi membentuk 3 dimensi telah
diabaikan.
Maka, skenografi dan tata cahaya hanya bersifat formalitas. Meski
demikian, ada yang cukup "menyenangkan" untuk dilihat, yaitu busana.
Busana yang dikenakan cukup menggambarkan penokohan. Misalnya rombongan dari
Lamongan menggunakan pakaian dominan merah. Keberpihakan terlihat jelas lewat
warna. Dengan warna merah itulah penonton mudah memahami bahwa merekalah
tokoh-tokoh jahat. Penokohan macam ini sangat lazim pada tradisi Jawa, terutama
pada wayang kulit dan wayang orang. Alangkah lebih indah andai pihak Tuban bisa
menggunakan atribut yang menjadi ciri khas Tuban, misalnya batik Tuban. Tentu
ini akan memudahkan penonton membedakan antara pihak Tuban dan Bojonegoro.
Sementara bila dilihat tata riasnya, lakon SRIE cenderung
tanpa arah. Ada beberapa tokoh yang menggunakan rias cantik, ada yang menggunakan
rias floral, ada pula yang rias badut. Ketidakseragaman konsep itu sangat
mengganggu. Rias floral misalnya, justru bukan menguatkan karakter tapi malah
me-"lembek"-kan aktor laki-laki yang berperan sebagai utusan dan
pangeran. Sedangkan rias badut pada dua abdi raja Lamongan nampak tidak kompak.
Rias mereka seperti hasil merias dengan mata tertutup. Rias yang diharapkan
mampu mendukung karakterisasi tokoh justru malah mengaburkannya.
SRIE YANG TERABAIKAN
Lakon ini diberi judul SRIE, tapi tokoh Srie tidak cukup dominan.
Penokohan Srie yang diharapkan sebagai patriot wanita selayaknya Srikandi, sama
sekali tidak nampak. Srie di panggung hanya nampak sebagai gadis yang kasmaran.
Ini persoalan naskah, saya kira.
KEDODORAN
SRIE dibangun oleh aktor dan aktris lintas masa, mulai dari
yang masih SMA sampai yang sudah penuh uban. Ritme permainan yang lambat cukup
menguntungkan bagi aktor tua, tapi menenggelamkan potensi aktor muda. Meskipun
menguntungkan, tapi aktor tua nampak kedodoran dalam soal tempo. Dua abdi raja
Lamongan misalnya, guyonan dan ping-pong mereka terlalu lambat dan tidak mampu mengelola
penekanan dialog. Dua sosok yang harusnya bisa membawa tawa di tengah drama
yang lambat itu ikut lambat juga. Masalah lain adalah kualitas vokal yang lemah.
Masalah ini memang tidak terjadi pada semua aktor, tapi keberadaannya cukup
mengurangi penyampaian cerita ke penonton.
Tokoh Srie memiliki dialog yang cukup panjang. Ketika dialog
itu ditampilkan, terkesan monoton dan tertata. Perpindahan dialog dan blocking
terlihat tidak natural. Bagaimanapun, seharusnya monolog semacam itu perlu
digarap lebih intens karena akan sangat menyita perhatian penonton.
Pada leaflet halaman 1, paragraf 4 tertulis "...cerita
legenda yang dikemas secara modern, stamina, hafalan..." Soal stamina
jelas kedodoran. Mungkin tinggal soal hafalan itu yang nampak secara nyata.
Sebagian besar aktor secara jelas masih terlihat menghafal, belum sampai pada
tahap menyelami peran.
MUMPUNG ADA KESEMPATAN
"Kami punya WBL dan Gua Maharani, Tuban punya apa?"
tanya rombongan dari kerajaan Lamongan. Rombongan kerajaan Tuban diam.
Rombongan kerajaan Lamongan melanjutkan, "Boom? Seperti WC umum. Rest
Area? Kelip-kelip sebentar lagi mati. Gedung kesenian? Yang ada cuma gedung
nikahan."
Begitulah kritik lakon SRIE di depan pejabat Tuban yang ikut
menonton. Bagaimanapun, begitulah kenyataannya dan telah disuarakan.
Memang urgen rasanya soal gedung kesenian. Sebab di sanalah
seniman bisa berpentas atau sekedar diskusi tanpa rebutan dengan acara nikahan.
Kesenian yang berkembang pesat di beberapa kota besar diidentikkan dengan
gedung kesenian. TIM misalnya menjadi tempat berkumpul, berdiskusi, berlatik
dan berpentas bagi seniman-seniman di sekitar Jakarta. Bahkan terdapat subsidi
bagi kelompok teater berkualitas untuk berpentas di sana.
Mumpung ada kesempatan, memang pas untuk menyuarakan kritik.
Ini adalah bentuk kepedulian pada lingkungan. Rendra dalam Sajak Sebatang
Lisong mengatakan:
"Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan."
SEMANGAT LUAR BIASA
Terlepas dari kekurangan sana-sini, terlepas soal kesalahan
dialog, pertunjukan SRIE cukup menarik untuk dilihat dari sisi lain. Semangat
di usia tua untuk tetap berteater itulah yang patut menjadi teladan. Di tengah
segala aktivitas tapi tetap bisa menyuguhkan pertunjukan yang bagus. Semangat
inilah yang semoga tetap menyala, bahkan semoga semakin membara. Kemudian ikut
membakar semangat penggiat teater lainnya. Semoga bara itu abadi, membakar
gairah seni.
Tuban-Surabaya, 27 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar