Dia ditolak.
Berkali-kali. Kesedihannya selalu meluap saat pengembalian karya.
Disertai salam dan hormat,
Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 26
September 2017 Redaksi telah menerima naskah Anda berjudul Karsan...
Bla-bla-bla.
Balasan dengan berbagai ragam bahasa, tapi selalu dengan akhir yang sama. Satu
kata: penolakan.
***
Memang,
Karsan tidak dibuat oleh penulis kawakan seperti Seno Gumira Ajidarma yang bisa
membuat setiap tokohnya berharga. Bukan pula Agus Noor yang dengan mudah
menakdirkan tokoh-tokohnya mengalami keganjilan-keganjilan dalam hidupnya.
Namanya juga hanya Karsan, bukan Olenka, bukan Sukab, bukan pula Soekram.
Karsan hanya lahir dari nama orang tua penulisnya. Tak lebih.
Lalu
apa yang membuat kisahnya layak disajikan dalam koran minggu? Itukah sebabnya
berkali-kali pula kisahnya berakhir tanpa balasan? Mungkin sang editor tak enak
hati mengirimkan penolakan, atau memang editor sekarang hanya menghargai
pertemanan. Itu sama sekali tidak dipahami Karsan.
***
Senja hari
ketika hujan mengambil sepenuhnya ruang alam, Karsan termangu dalam lembarnya.
Dia terduduk di sana sepanjang hari tanpa tahu harus kemana.
Pada detik entah
berapa, pada layar komputer yang lain, terdengar kabar bahwa seorang penulis
kenamaan sedang meluncurkan buku baru. “Ini adalah sebuah novel yang
benar-benar saya jaga walaupun hanya sebuah koma,” kata penulis itu. Sementara
Karsan sering tersandung-sandung bahkan oleh komanya sendiri. Dengan topi
khasnya penulis itu melanjutkan, “Sebagian besar berasal dari pengalaman saya.
Sensasinya tidak habis-habis sampai saya dewasa. Dan saya harus menemukan
bagaimana cara menceritakannya kepada pembaca saya.” Karsan merasa akan
demikian dihargai andai kata dia diciptakan dari sebuah hasrat yang demikian
berharga bagi penulisnya. Hasrat yang menghantuinya sepanjang usia.
***
Dengan tekat
yang demikian kuat untuk memahami bagaimana sebuah karya yang layak terbit,
Karsan nekat keluar dari lembarnya dan melompati setiap file. File yang
amburadul. File-file diletakkan tanpa kategori, tanpa nama yang spesifik, tanpa
pula proses pemilihan. Karsan hampir jumpalitan
karena terantuk-antuk sampah-sampah itu. Sampai kemudian dia menemukan sebuah
file lama berjudul Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Dia menengok ke
dalamnya dan segera merasa mual. Baginya yang tidak dikaruniai cukup
kecerdasan, kisah itu hanyalah soal pertengkaran. Tak lebih. Lalu Karsan
melompat dari folder ke folder lain. Barangkali, bila digunakan skala manusia,
maka perjalanan Karsan itu tak kurang dari 100 kilometer jauhnya.
Tapi tekatnya
demikian membara. Karsan terus melompati folder. Di puncak lelahnya, dia
tersandung dan terjungkir masuk ke dalam sebuah folder tanpa nama. Hanya ada
angka-angka yang sama sekali tak menarik baginya.
Karsan mendarat dengan
kepalanya. Kepalanya terantuk-antuk file yang entah berapa jumlahnya. Kali ini
bukan cerita, tapi gambar-gambar.
Gambar-gambar
itu dimulai dari seorang lelaki yang sedang menggendong anak bayi. Berpindah menjadi
seorang anak kecil sedang menaiki punggung seorang laki-laki. Kemudian di
sebelahnya adalah gambar seorang remaja berpose dengan puala di tangan kanannya
dan seorang lelaki paruh baya di dekapan tangan kirinya.
Karsan sama
sekali tak tahu. Kenapa file-file itu disimpan di sana. “Bukankah lebih baik
menyimpan kisah-kisah yang baik. Kisah-kisah sastra yang bisa memperkaya isi
kepala,” tukas dia. Tapi entah mengapa, gambar-gambar itu tak hentinya dia
lihat dengan seksama. Sampai kemudian pada foto terakhir, dia melihat seorang
pria sedang tertunduk di depan sebuah nisan.
Kali ini Karsan
mengenalinya. Pria itu adalah penciptanya. Pria yang tidak melengkapinya dengan
gaya Bahasa yang demikian sastra. Pria yang membuatkannya nama yang biasa saja.
Ada kemarahan yang perlahan muncul di dadanya. “Coba kalau kau menulis aku
dengan serius. Coba kalau kau meletakkan tanda baca dengan sempurna. Coba kalau
kau secara teliti menata plot dan klimaks. Maka aku sudah lama bertengger di
surat kabar minggu. Dibaca oleh kritikus-kritikus sastra,” Karsan tak mampu
lagi menahannya.
Jeda beberapa
saat. Karsan yang sedari tadi diliputi kemarahan pada penulisnya perlahan-lahan
mulai mereda. Nafasnya kembali teratur seperti biasa. Dengan malasnya dia
menengok foto terakhir itu dan membaca nama yang tertulis di nisan.
Karsan.
Ya, nama itu ada
di sana. Nama yang dia sandang hingga detik ini.
Ada yang menusuk
dada Karsan. Nafasnya semakin beratnya.
***
Balasan email
dari editor kembali diterima dan nadanya sama. Tapi entah mengapa Karsan
menampakkan wajah yang gembira. Sambil menatap hujan yang mengaburkan segala
duka, Karsan berkata, “Aku adalah bagian dari kisah hidup. Bukankah itu kisah
paling berharga?”
Udara dingin
menyusup di setiap celah. Memberikan kesenduan yang menentramkan. Maka Lelah
dan kantuk seperti sepasang untai DNA yang tak terpisahkan.
Malang,
28 November 2017
mantab...mas.
BalasHapus