Selasa, 28 November 2017

TOKOH YANG TAK LAYAK MUNCUL DI KORAN MINGGU



Dia ditolak. Berkali-kali. Kesedihannya selalu meluap saat pengembalian karya.

Disertai salam dan hormat,

Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 26 September 2017 Redaksi telah menerima naskah Anda berjudul Karsan...

Bla-bla-bla. Balasan dengan berbagai ragam bahasa, tapi selalu dengan akhir yang sama. Satu kata: penolakan.

***
Memang, Karsan tidak dibuat oleh penulis kawakan seperti Seno Gumira Ajidarma yang bisa membuat setiap tokohnya berharga. Bukan pula Agus Noor yang dengan mudah menakdirkan tokoh-tokohnya mengalami keganjilan-keganjilan dalam hidupnya. Namanya juga hanya Karsan, bukan Olenka, bukan Sukab, bukan pula Soekram. Karsan hanya lahir dari nama orang tua penulisnya. Tak lebih.
Lalu apa yang membuat kisahnya layak disajikan dalam koran minggu? Itukah sebabnya berkali-kali pula kisahnya berakhir tanpa balasan? Mungkin sang editor tak enak hati mengirimkan penolakan, atau memang editor sekarang hanya menghargai pertemanan. Itu sama sekali tidak dipahami Karsan.

***
Senja hari ketika hujan mengambil sepenuhnya ruang alam, Karsan termangu dalam lembarnya. Dia terduduk di sana sepanjang hari tanpa tahu harus kemana.
Pada detik entah berapa, pada layar komputer yang lain, terdengar kabar bahwa seorang penulis kenamaan sedang meluncurkan buku baru. “Ini adalah sebuah novel yang benar-benar saya jaga walaupun hanya sebuah koma,” kata penulis itu. Sementara Karsan sering tersandung-sandung bahkan oleh komanya sendiri. Dengan topi khasnya penulis itu melanjutkan, “Sebagian besar berasal dari pengalaman saya. Sensasinya tidak habis-habis sampai saya dewasa. Dan saya harus menemukan bagaimana cara menceritakannya kepada pembaca saya.” Karsan merasa akan demikian dihargai andai kata dia diciptakan dari sebuah hasrat yang demikian berharga bagi penulisnya. Hasrat yang menghantuinya sepanjang usia.

***
Dengan tekat yang demikian kuat untuk memahami bagaimana sebuah karya yang layak terbit, Karsan nekat keluar dari lembarnya dan melompati setiap file. File yang amburadul. File-file diletakkan tanpa kategori, tanpa nama yang spesifik, tanpa pula proses pemilihan. Karsan hampir jumpalitan karena terantuk-antuk sampah-sampah itu. Sampai kemudian dia menemukan sebuah file lama berjudul Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Dia menengok ke dalamnya dan segera merasa mual. Baginya yang tidak dikaruniai cukup kecerdasan, kisah itu hanyalah soal pertengkaran. Tak lebih. Lalu Karsan melompat dari folder ke folder lain. Barangkali, bila digunakan skala manusia, maka perjalanan Karsan itu tak kurang dari 100 kilometer jauhnya.
Tapi tekatnya demikian membara. Karsan terus melompati folder. Di puncak lelahnya, dia tersandung dan terjungkir masuk ke dalam sebuah folder tanpa nama. Hanya ada angka-angka yang sama sekali tak menarik baginya.
Karsan mendarat dengan kepalanya. Kepalanya terantuk-antuk file yang entah berapa jumlahnya. Kali ini bukan cerita, tapi gambar-gambar.
Gambar-gambar itu dimulai dari seorang lelaki yang sedang menggendong anak bayi. Berpindah menjadi seorang anak kecil sedang menaiki punggung seorang laki-laki. Kemudian di sebelahnya adalah gambar seorang remaja berpose dengan puala di tangan kanannya dan seorang lelaki paruh baya di dekapan tangan kirinya.
Karsan sama sekali tak tahu. Kenapa file-file itu disimpan di sana. “Bukankah lebih baik menyimpan kisah-kisah yang baik. Kisah-kisah sastra yang bisa memperkaya isi kepala,” tukas dia. Tapi entah mengapa, gambar-gambar itu tak hentinya dia lihat dengan seksama. Sampai kemudian pada foto terakhir, dia melihat seorang pria sedang tertunduk di depan sebuah nisan.
Kali ini Karsan mengenalinya. Pria itu adalah penciptanya. Pria yang tidak melengkapinya dengan gaya Bahasa yang demikian sastra. Pria yang membuatkannya nama yang biasa saja. Ada kemarahan yang perlahan muncul di dadanya. “Coba kalau kau menulis aku dengan serius. Coba kalau kau meletakkan tanda baca dengan sempurna. Coba kalau kau secara teliti menata plot dan klimaks. Maka aku sudah lama bertengger di surat kabar minggu. Dibaca oleh kritikus-kritikus sastra,” Karsan tak mampu lagi menahannya.
Jeda beberapa saat. Karsan yang sedari tadi diliputi kemarahan pada penulisnya perlahan-lahan mulai mereda. Nafasnya kembali teratur seperti biasa. Dengan malasnya dia menengok foto terakhir itu dan membaca nama yang tertulis di nisan.

Karsan.

Ya, nama itu ada di sana. Nama yang dia sandang hingga detik ini.
Ada yang menusuk dada Karsan. Nafasnya semakin beratnya.

***
Balasan email dari editor kembali diterima dan nadanya sama. Tapi entah mengapa Karsan menampakkan wajah yang gembira. Sambil menatap hujan yang mengaburkan segala duka, Karsan berkata, “Aku adalah bagian dari kisah hidup. Bukankah itu kisah paling berharga?”
Udara dingin menyusup di setiap celah. Memberikan kesenduan yang menentramkan. Maka Lelah dan kantuk seperti sepasang untai DNA yang tak terpisahkan.


Malang, 28 November 2017

1 komentar: