Sebuah keberuntungan menikmati tiga
pertunjukan teater dalam satu malam. Begitulah rasanya yang didapatkan oleh
penonton Pentas Moneter #2 yang digelar olah Teater Pelangi, Universitas Negeri
Malang. Pentas yang digelar tepat pada peringatan hari buruh internasional itu
menyajikan naskah Membaca Tanda-Tanda (Rachman
Sabur), Kembang Mawar (N. Riantiarno) dan Bunga
Tidur (adaptasi puisi Widji Thukul).
Hanya saja, dinginnya kota Malang pada malam itu tidak didukung oleh kehangatan yang menyenangkan sebab tersisa ruang-ruang kosong dalam setiap pertunjukan.
MEMBACA TANDA RACHMAN SABUR
Rachman Sabur dikenal dari
aktivitas berkeseniannya bersama dengan Teater Payung Hitam di Bandung. Bersama
dengan Teater Payung Hitam, Rachman Sabur mengembangkan pola liris dalam
karya-karyanya. Naskah-naskah Rahman Sabur cenderung irit kata dan cenderung
memiliki banyak lambang visual, auditif dan kinetik. Hal inilah mengapa
penggarapan naskah Rachman Sabur memerlukan pemahaman purna-teks. Sayangnya, di
situlah ruang kosong pemanggungan naskah Membaca
Tanda-Tanda oleh Teater Pelangi.
Teks tidak diperlakukan sebagaimana
mestinya.
Dialog-dialog tokoh disampaikan justru dengan gaya deklamasi yang membosankan.
Dialog-dialog dilemparkan selayaknya sebagai puisi. Gestur aktor
benar-benar telah mati di hampir seluruh pertunjukan. Teknik ini memang paling
umum digunakan oleh para pembaca puisi. Mungkin sang aktor adalah pembaca puisi
atau memang punya bakat menjadi pembaca puisi. Tapi sebagai seorang aktor
teater, tentu saja itu tidak cukup.
Seorang aktor teater bukan hanya
bermodal suara yang lantang, tapi juga harus mampu kemampuan dramatic dalam
menyampaikan cerita. Terlebih, monolog memang memiliki tantangan keaktoran yang
jauh lebih tinggi. Semua perhatian penonton akan hanya terpusat pada si aktor.
Sebagaimana telah saya singgung tadi bahwa gestur aktor sama sekali mati.
Dialog-dialog seperti keluar dari sebuah radio. Tentu saja sebagai radio, tidak
ada gerakan antenna, apalagi gerakan tubuh radio. Belum lagi, blocking dan
penguasaan ruang sangat minim.
Tapi sebagai sebuah sajian,
sebenarnya pertunjukan pertama ini punya impresi pertama yang meyakinkan. Suara
pertemuan antara palu dan batu cukup intens. Perwujudan kekerasan, baik dalam
konteks penokohan maupun kerasnya hidup sang tokoh sangat terasa. Hanya saja,
simbolisasi macam itu menjadi sirna pada adegan-adegan berikutnya. Ini sungguh
dapat disayangkan.
Belum lagi persoalan busana yang
tidak ada ikatan ruang tertentu, baik kultur maupun jaman tertentu. Bahkan,
lebih ringan lagi, persoalan kebersihan busana yang digunakan juga cukup
membuat konsepnya menjadi tidak menyatu. Rasanya dalam hal ini, observasi dan
pendalaman lapangan sangat perlu dilakukan lebih serius.
Semua kekosongan itu diperparah
dengan kekosongan musik. Memang ada musik yang mengalun sepanjang pertunjukan,
tapi kosong saja. Musik, adegan dan aktor tidak menunjukkan dinamika yang dapat
dipahami sebagai harmonisasi. Perubahan emosi dan adegan dibiarkan lepas dari
musik. Maka tidak berlebihan bila terkesan bahwa para pemusik tidak secara
tulus mendukung pertunjukan ini.
KEMBANG MAWAR YANG TIDAK SEMPAT BERKEMBANG
Sebagai sebuah kisah romantis,
tentu harusnya pertunjukan Kembang Mawar
ini bisa dengan mudah meraih simpati penonton. Tapi nyatanya tidak begitu yang
terjadi.
Sejak kemunculan aktor untuk
pertama kali, ada kelesuan di dalam tubuhnya. Ada keraguan yang tercermin dari
dialog-dialog awal yang tidak bertenaga. Belum lagi sepanjang adegan-adegan
awal, sang aktor lebih banyak menutup matanya. Hal ini sangat merugikan
mengingat perlunya kontak mata antara aktor dan penonton. Kontak mata ini akan
dengan mudah membantu menyalurkan emosi yang dipunyai aktor kepada penonton.
Tentu saja persoalannya bukan hanya
itu.
Berbeda dengan pertunjukan pertama yang terkesan seperti membaca puisi, pertunjukan kedua ini malah seperti orang yang membaca koran.
Dialog-dialog
emosional hanya disampaikan secara datar dan tanpa tangga dramatic sama sekali.
Pola dialog monoton ini menyisakan ruang kosong antara aktor dan penonton,
antara panggung dan ruang gelap.
Sang tokoh mencintai seorang
perempuan, hanya saja tidak mampu mengungkapkannya. Setidaknya begitulah bila
kita ringkas cerita naskah Kembang Mawar
karya N. Riantirno itu. Hanya saja malam itu sama sekali tidak ada cinta yang
memancar begitu dahsyat di mata sang aktor. Selanjutnya, tidak pula ada
penyesalan yang terpancar dari seluruh tubuhnya.
Bahkan, tidak ada tafsir berbeda
dari naskah. Pertunjukan itu hanya merekonstruksi naskah. Kekosongan proses
kreatif itu membuat Kembang Mawar—yang begitu menawan, begitu menyimpan peluang
penggarapan—menjadi tidak sempat berkembang.
KEKOSONGAN PUISI DAN TEATER
Sipon yang menderita karena harus
menghadapi permasalahan akibat perbuatan suaminya itu lelap. Entah persifat
imajiner atau nyata (karena tidak cukup ada perubahan suasana), lalu sang
suami, Widji Thukul datang menghampirinya. Sang istri menumpahkan segala keluh
kesahnya dan berharap suaminya itu pulang.
Adegan ini mengingatkan saya pada
salah satu adegan dalam film Istirahtlah
Kata-Kata yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen. Adegan itu terjadi di
sebuah hotel, di sana Widji Thukul dan Istrinya bertemu secara
sembunyi-sembunyi di tengah pelarian sang suami. Dialog-dialog di adegan itu
cukup menunjukkan seorang Sipon secara utuh, baik sisi penderitaan maupun sisi
ketegaran seorang istri dan Ibu. Sayangnya adegan dalam pertunjukan Teater
Pelangi itu tidak mampu memberikan kedalaman yang sama.
Pertunjukan Bunga Tidur itu diadaptasi dari puisi Widji Thukul berjudul Baju Loak Sobek Pundaknya. Berikut
isinya:
Baju Loak Sobek Pundaknya
siang tadi aku
beli baju
harganya murah
harganya murah
bojoku
di pedagang
loak
di pedagang
loak bojoku
pundaknya
sedikit sobek
sedikit sobek
bojoku
bisa dijahit
tapi
nanti akan
kubeli benang
akan kubeli
jarum
untuk menjahit
bajumu bojoku
untukmu bojoku
baju itu
untukmu
tadi siang
kucuci baju itu
kucuci bojoku
tapi aku
bimbang
aku bimbang
bojoku
kutitip ke
kawan
atau kubawa
sendiri
nanti kalau
aku pulang
kalau aku
pulang bojoku
karena
sekarang aku buron
diburu
penguasa
karena aku
berorganisasi
karena aku
berorganisasi bojoku
baju itu
kulipat bojoku
di bawah
bantal
tak ada
setrika bojoku
tak ada
setrika
agar tak lusuh
agar tak lusuh
karena baju
ini untukmu bojoku
22 Januari 96
Puisi ini bercerita dari sudut
pandang seorang Widji Thukul yang buronan, yang membelikan sebuah hadiah untuk
istrinya. Dan betapa susahnya ia karena diburu oleh penguasa. Dalam pertunjukan
Teater Pelangi digunakan sudut pandang sang istri. Tetapi proses alih wahana
dari puisi menjadi pertunjukan teater itu cukup bermasalah karena sebenarnya
tidak mempertahankan benang merah dari puisi. Terlalu banyak perubahan sehingga
bahkan persoalan hadiah baju tidak muncul sama sekali di panggung. Sedikitnya
ruang puisi yang dipindahkan ke dalam ruang pertunjukan membuat rasanya
berlebihan bila ditulis “adaptasi” dan lebih tepat “terinspirasi.”
Kekosongan-kekosongan lain
memperburuk situasi ini. Penggambaran seorang Widji Thukul, misalnya. Bagi yang
pernah menyaksikan Widji Thukul lewat rekaman-rekaman video maupun hasil
rekonstruksi dalam film Istirahatah
Kata-Kata akan memahami secara umum ciri-cinya, yaitu cadel (kesulitan
menyebut huruf r). Gaya pembacaan puisinyapun lantang sebagaimana kebiasaannya
memberikan orasi dalam demo-demo. Dalam pertunjukan Teater Pelangi malam itu
digambarkan bahwa Widji Thukul memakai penutup mata. Hal ini sepertinya merujuk
pada kejadian pemukulan apparat keamanan pada mata Widji Thukul yang kemudian
ditutup dengan kasa. Tapi ada kesalahan fatal yang terjadi, yaitu bahwa mata
yang ditutup oleh Teater Pelangi adalah mata kiri, sementara Widji Thukul yang
asli menutup mata kanannya. Kesalahan kecil macam ini tentu sangat disayangkan
karena kemudahan akses informasi. Bahkan grafis-grafis Widji Thukul yang
menutup matanya sangat sering digunakan dalam publikasi-publikasi.
Maka tidak berlebihan, bahwa di
tengah keberuntungan Rabu malam itu, saya juga sedih. Sedih akibat
kekosongan-kekosongan yang memisahkan saya dari kenikmatan total ketika
menyaksikan pertunjukan teater. Tapi semua kekosongan itu bukanlah sebuah
kesalahan mutlak, sehingga dengan mudah dapat diperbaiki dalam
produksi-produksi selanjutnya. Dan saya akan sabar menunggu itu tiba.
Malang, 1 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar