Jumat, 03 Mei 2019

PENTAS MONETER #2 DAN RUANG KOSONG



Sebuah keberuntungan menikmati tiga pertunjukan teater dalam satu malam. Begitulah rasanya yang didapatkan oleh penonton Pentas Moneter #2 yang digelar olah Teater Pelangi, Universitas Negeri Malang. Pentas yang digelar tepat pada peringatan hari buruh internasional itu menyajikan naskah Membaca Tanda-Tanda (Rachman Sabur), Kembang Mawar (N. Riantiarno) dan Bunga Tidur (adaptasi puisi Widji Thukul).

Hanya saja, dinginnya kota Malang pada malam itu tidak didukung oleh kehangatan yang menyenangkan sebab tersisa ruang-ruang kosong dalam setiap pertunjukan.

MEMBACA TANDA RACHMAN SABUR
Rachman Sabur dikenal dari aktivitas berkeseniannya bersama dengan Teater Payung Hitam di Bandung. Bersama dengan Teater Payung Hitam, Rachman Sabur mengembangkan pola liris dalam karya-karyanya. Naskah-naskah Rahman Sabur cenderung irit kata dan cenderung memiliki banyak lambang visual, auditif dan kinetik. Hal inilah mengapa penggarapan naskah Rachman Sabur memerlukan pemahaman purna-teks. Sayangnya, di situlah ruang kosong pemanggungan naskah Membaca Tanda-Tanda oleh Teater Pelangi.
Teks tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. 

Dialog-dialog tokoh disampaikan justru dengan gaya deklamasi yang membosankan. 

Dialog-dialog dilemparkan selayaknya sebagai puisi. Gestur aktor benar-benar telah mati di hampir seluruh pertunjukan. Teknik ini memang paling umum digunakan oleh para pembaca puisi. Mungkin sang aktor adalah pembaca puisi atau memang punya bakat menjadi pembaca puisi. Tapi sebagai seorang aktor teater, tentu saja itu tidak cukup.
Seorang aktor teater bukan hanya bermodal suara yang lantang, tapi juga harus mampu kemampuan dramatic dalam menyampaikan cerita. Terlebih, monolog memang memiliki tantangan keaktoran yang jauh lebih tinggi. Semua perhatian penonton akan hanya terpusat pada si aktor. Sebagaimana telah saya singgung tadi bahwa gestur aktor sama sekali mati. Dialog-dialog seperti keluar dari sebuah radio. Tentu saja sebagai radio, tidak ada gerakan antenna, apalagi gerakan tubuh radio. Belum lagi, blocking dan penguasaan ruang sangat minim.
Tapi sebagai sebuah sajian, sebenarnya pertunjukan pertama ini punya impresi pertama yang meyakinkan. Suara pertemuan antara palu dan batu cukup intens. Perwujudan kekerasan, baik dalam konteks penokohan maupun kerasnya hidup sang tokoh sangat terasa. Hanya saja, simbolisasi macam itu menjadi sirna pada adegan-adegan berikutnya. Ini sungguh dapat disayangkan.
Belum lagi persoalan busana yang tidak ada ikatan ruang tertentu, baik kultur maupun jaman tertentu. Bahkan, lebih ringan lagi, persoalan kebersihan busana yang digunakan juga cukup membuat konsepnya menjadi tidak menyatu. Rasanya dalam hal ini, observasi dan pendalaman lapangan sangat perlu dilakukan lebih serius.
Semua kekosongan itu diperparah dengan kekosongan musik. Memang ada musik yang mengalun sepanjang pertunjukan, tapi kosong saja. Musik, adegan dan aktor tidak menunjukkan dinamika yang dapat dipahami sebagai harmonisasi. Perubahan emosi dan adegan dibiarkan lepas dari musik. Maka tidak berlebihan bila terkesan bahwa para pemusik tidak secara tulus mendukung pertunjukan ini.

KEMBANG MAWAR YANG TIDAK SEMPAT BERKEMBANG
Sebagai sebuah kisah romantis, tentu harusnya pertunjukan Kembang Mawar ini bisa dengan mudah meraih simpati penonton. Tapi nyatanya tidak begitu yang terjadi.
Sejak kemunculan aktor untuk pertama kali, ada kelesuan di dalam tubuhnya. Ada keraguan yang tercermin dari dialog-dialog awal yang tidak bertenaga. Belum lagi sepanjang adegan-adegan awal, sang aktor lebih banyak menutup matanya. Hal ini sangat merugikan mengingat perlunya kontak mata antara aktor dan penonton. Kontak mata ini akan dengan mudah membantu menyalurkan emosi yang dipunyai aktor kepada penonton.
Tentu saja persoalannya bukan hanya itu. 

Berbeda dengan pertunjukan pertama yang terkesan seperti membaca puisi, pertunjukan kedua ini malah seperti orang yang membaca koran. 

Dialog-dialog emosional hanya disampaikan secara datar dan tanpa tangga dramatic sama sekali. Pola dialog monoton ini menyisakan ruang kosong antara aktor dan penonton, antara panggung dan ruang gelap.
Sang tokoh mencintai seorang perempuan, hanya saja tidak mampu mengungkapkannya. Setidaknya begitulah bila kita ringkas cerita naskah Kembang Mawar karya N. Riantirno itu. Hanya saja malam itu sama sekali tidak ada cinta yang memancar begitu dahsyat di mata sang aktor. Selanjutnya, tidak pula ada penyesalan yang terpancar dari seluruh tubuhnya.
Bahkan, tidak ada tafsir berbeda dari naskah. Pertunjukan itu hanya merekonstruksi naskah. Kekosongan proses kreatif itu membuat Kembang Mawar—yang begitu menawan, begitu menyimpan peluang penggarapan—menjadi tidak sempat berkembang.

KEKOSONGAN PUISI DAN TEATER
Sipon yang menderita karena harus menghadapi permasalahan akibat perbuatan suaminya itu lelap. Entah persifat imajiner atau nyata (karena tidak cukup ada perubahan suasana), lalu sang suami, Widji Thukul datang menghampirinya. Sang istri menumpahkan segala keluh kesahnya dan berharap suaminya itu pulang.
Adegan ini mengingatkan saya pada salah satu adegan dalam film Istirahtlah Kata-Kata yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen. Adegan itu terjadi di sebuah hotel, di sana Widji Thukul dan Istrinya bertemu secara sembunyi-sembunyi di tengah pelarian sang suami. Dialog-dialog di adegan itu cukup menunjukkan seorang Sipon secara utuh, baik sisi penderitaan maupun sisi ketegaran seorang istri dan Ibu. Sayangnya adegan dalam pertunjukan Teater Pelangi itu tidak mampu memberikan kedalaman yang sama.
Pertunjukan Bunga Tidur itu diadaptasi dari puisi Widji Thukul berjudul Baju Loak Sobek Pundaknya. Berikut isinya:

Baju Loak Sobek Pundaknya
siang tadi aku beli baju
harganya murah
harganya murah bojoku
di pedagang loak
di pedagang loak bojoku
pundaknya sedikit sobek
sedikit sobek bojoku
bisa dijahit tapi
nanti akan kubeli benang
akan kubeli jarum
untuk menjahit bajumu bojoku

untukmu bojoku
baju itu untukmu

tadi siang kucuci baju itu
kucuci bojoku

tapi aku bimbang
aku bimbang bojoku
kutitip ke kawan
atau kubawa sendiri
nanti kalau aku pulang
kalau aku pulang bojoku

karena sekarang aku buron
diburu penguasa
karena aku berorganisasi
karena aku berorganisasi bojoku

baju itu kulipat bojoku
di bawah bantal
tak ada setrika bojoku
tak ada setrika
agar tak lusuh
agar tak lusuh
karena baju ini untukmu bojoku

22 Januari 96

Puisi ini bercerita dari sudut pandang seorang Widji Thukul yang buronan, yang membelikan sebuah hadiah untuk istrinya. Dan betapa susahnya ia karena diburu oleh penguasa. Dalam pertunjukan Teater Pelangi digunakan sudut pandang sang istri. Tetapi proses alih wahana dari puisi menjadi pertunjukan teater itu cukup bermasalah karena sebenarnya tidak mempertahankan benang merah dari puisi. Terlalu banyak perubahan sehingga bahkan persoalan hadiah baju tidak muncul sama sekali di panggung. Sedikitnya ruang puisi yang dipindahkan ke dalam ruang pertunjukan membuat rasanya berlebihan bila ditulis “adaptasi” dan lebih tepat “terinspirasi.”
Kekosongan-kekosongan lain memperburuk situasi ini. Penggambaran seorang Widji Thukul, misalnya. Bagi yang pernah menyaksikan Widji Thukul lewat rekaman-rekaman video maupun hasil rekonstruksi dalam film Istirahatah Kata-Kata akan memahami secara umum ciri-cinya, yaitu cadel (kesulitan menyebut huruf r). Gaya pembacaan puisinyapun lantang sebagaimana kebiasaannya memberikan orasi dalam demo-demo. Dalam pertunjukan Teater Pelangi malam itu digambarkan bahwa Widji Thukul memakai penutup mata. Hal ini sepertinya merujuk pada kejadian pemukulan apparat keamanan pada mata Widji Thukul yang kemudian ditutup dengan kasa. Tapi ada kesalahan fatal yang terjadi, yaitu bahwa mata yang ditutup oleh Teater Pelangi adalah mata kiri, sementara Widji Thukul yang asli menutup mata kanannya. Kesalahan kecil macam ini tentu sangat disayangkan karena kemudahan akses informasi. Bahkan grafis-grafis Widji Thukul yang menutup matanya sangat sering digunakan dalam publikasi-publikasi.

Maka tidak berlebihan, bahwa di tengah keberuntungan Rabu malam itu, saya juga sedih. Sedih akibat kekosongan-kekosongan yang memisahkan saya dari kenikmatan total ketika menyaksikan pertunjukan teater. Tapi semua kekosongan itu bukanlah sebuah kesalahan mutlak, sehingga dengan mudah dapat diperbaiki dalam produksi-produksi selanjutnya. Dan saya akan sabar menunggu itu tiba.

Malang, 1 Mei 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar