Kamis, 11 April 2019

ARTIUM PARTHEA : TUMPUKAN BAHAN MENTAH


Bulan Maret adalah perayaan yang paling ditunggu-tunggu oleh seniman dan peminat teater, karena pada bulan ini diperingati Hari Teater Dunia. Sehingga sangat mudah ditemui acara-acara dan pentas teater yang digelar di berbagai belahan dunia, termasuk di Malang. UKM KUTUB merayakan hari ulang tahun teater dengan menggelar Artium Parthea.
Secara Bahasa, Artium dapat diterjemahkan sebagai seni, sementara Parthea sulit diterjemahkan. Kata yang kedua ini tidak dapat ditemukan dalam Bahasa-bahasa yang ada. Dalam beberapa kamus online, arti Parthea sama sekali tidak ditemukan. Tapi anggap saja ini adalah sebuah pesta teater, tempat dimana kaum teater berpesta dan saling apresiasi. Sayangnya, kita hanya disajikan bahan mentah. Mari kita bahas satu-persatu dari bahan-bahan yang disajikan mentah itu.

KITA DIPAKSA MENDENGAR IGAUAN
Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika harus menonton pertunjukan Lost oleh Teater Lorong dari Madura. Panggung didesain dengan lokasi penonton berbentuk tapal kuda. Sebagaimana dipahami, penempatan penonton seperti ini akan sangat membantu penyaji menyampaikan pertunjukan dengan baik. Proses transfer berjalan dengan lebih optimal. Tapi sayang sekali itu tidak terjadi.

Pertunjukan Lost oleh Teater Lorong Madura


Sejak cahaya muncul, kita disuguhi sebuah instalasi di beberapa titik; kanvas dengan tulisan lost, level-level dan tumpukan boneka. Sekilas saja dapat ditebak bahwa penggarap pertunjukan ini sangat dekat dengan dunia seni rupa. Ketiga instalasi disusun dari sudut ke sudut. Beberapa saat kemudian muncullah seorang aktor dan mengajak seorang penonton untuk masuk ke panggung. Perempuan yang dipersilakan duduk ini mengikuti saja ajakan sang aktor.
Menarik memang bila kita menilik sebuah konsep teater dimana penonton menjadi bagian dari sebuah pertunjukan. Tentu konsep paling umum adalah pembuangan dinding ke empat sebagaimana umum digunakan dalam teater Indonesia. Tidak ada jarak antara pertunjukan dengan penonton. Ke-intim-an ini sungguh menggoda. Augusto Boal bahkan mengajukan sebuah konsep dimana penonton dapat menentukan kelanjutan pertunjukan yang digelar. Theatre of Oppressed, genre teater yang dikembangkan Boal, memberikan pengalaman yang sangat dekat dengan penontonnya. Dalam beberapa pertunjukan seni pertunjukan tradisional juga sering muncul interaksi antara penyaji dan penggarap. Sehingga sungguh menguntungkan apabila digunakan teknik ini.
Tapi, apabila kita menyimak pertunjukan Lost secara lebih jauh, kita patut kecewa. Pelibatan penonton sekedar basa-basi. Perempuan yang ditarik ke panggung menjadi benda mati, semacam properti panggung.
Belum lagi, mentahnya pertunjukan juga ditunjukkan dengan minimnya dinamika dialog. Kisah sedih hanya dilantunkan secara datar saja, seperti sebuah igauan. Belum lagi, apabila disimak dengan lebih jeli, terjadi perulangan-perulangan dialog yang tidak perlu. Hal ini terjadi, umumnya karena proses penyusunan dialog yang belum matang. Dengan pola monolog macam ini, maka jalannya pertunjukan menjadi sangat lambat, bahkan mungkin terlampau lambat dan membosankan. Komunikasi intim yang hendak dibangun sama sekali tidak terjalin. Kisah sedih yang disampaikan, meskipun sudah didukung dengan musik instrumentatif yang sendu, sama sekali tidak mampu mempengaruhi penonton secara lebih jauh. Belum lagi, Teknik blocking aktor tidak memberikan perhatian yang seimbang pada tiga sudut penonton. Inilah yang mematikan panggung tapal kuda.
Sementara di akhir, penonton disuguhi adegan melukis yang sangat lama dan membosankan. Aksi pembakaran lukisan di akhir pertunjukan juga gagal dilakukan. Maka, penonton rasanya belum disuguhi makanan matang yang enak.

KOLABORASI MENARIK TAPI MENTAH
Pertunjukan kedua adalah sebuah eksperimen kolaborasi antara teater dan fotografi. Sebuah usaha menarik untuk dikulik lebih jauh. Hanya saja, interaksi antara foto dan pertunjukan teater yang disajikan Mlasti dengan judul Swing It, sangat jelas tidak tersusun secara matang. Dialog, adegan, dan foto tidak menimbulkan sebuah pola yang dapat dipahami secara utuh. Dialog dilontarkan menimbulkan adegan-adegan, tapi foto yang disorotkan di background panggung tidak memberikan korelasi dengannya. Foto-foto itu tidak memiliki ikatan. Itu seperti sebuah reklame dengan berbagai kalimat provokatif, lalu tiba-tiba ditempeli foto caleg. Sebuah perpaduan yang belum menemukan harmoninya.
Kolaborasi antara foto dan pertunjukan harusnya memberikan perspektif yang menarik bagi penonton. Sebuah visualisasi yang memiliki kekuatan berlipat ganda. Hanya saja, penggabungan dua jenis seni ini dapat pula menjadi sebuah petaka bila proporsinya tidak dijaga. Penonton akan kebingungan menentukan focus dan pada akhirnya akan merugikan dalam penyampaian pesan dan cerita.
Teater, sebagai sebuah pertunjukan yang diselenggarakan secara langsung, maka tidak mungkin dilakukan perulangan “sempurna.” Sementara foto sangat bersifat reproduktif dan statis. Penggabungan dua ekspresi seni ini sebenarnya sudah dilakukan sejak berabad lalu. Pada tahun 1858 Sarah Bernardt telah menggunakan fotografi sebagai instrument penting dalam memanggungkan karyanya (Vanhaesebrouck, 2009). Sebuah foto mampu mengabadikan sebuah moment emosional yang dapat digunakan untuk meningkatkan efek sebuah pertunjukan. Sehingga foto di sini juga merupakan sebuah pertunjukan itu sendiri (Schneider, 2007).  Penggabungan dua jenis ekspresi ini sekaligus memberikan perpaduan yang menarik antara realitas dan ilusi.
Sayangnya, pertunjukan teater asal Blitar ini adalah pertunjukan yang belum selesai. Sebagaimana disampaikan oleh sang aktor, pertunjukan ini sejatinya masih dalam proses penyempurnaan. Keberadaan foto harusnya berjumlah cukup banyak untuk mendukung perubahan-perubahan dan jalannya adegan. Akan sangat menyenangkan menikmati hasil ”masakan”nya yang lebih matang nanti.

FRAGMEN TERFRAGMEN
Pertunjukan pamungkas yang disajikan oleh UKM KUTUB punya persoalan yang lebih rumit. Pertunjukan yang disadur dari sebuah puisi berjudul Jas Merah itu tidak menunjukkan sebuah cerita yang utuh. Kemunculan dua tokoh di atas panggung yang dipenuhi barang-barang itu terasa sangat dangkal. Sebagai sebuah cerita, penonton memang mudah sekali memahami bahwa seseorang telah diculik oleh pelaku seorang utusan presiden. Itu mudah sekali ditangkap, tetapi sebagai sebuah pertunjukan tentu itu saja tidak cukup. Percakapan dua tokoh itu tidak menghadirkan perdebatan yang menantang dan penuh lika-liku.
Pada awal pertunjukan, beberapa menit dijalankan secara begitu lambat. Tensi-tensi pertunjukan tidak dikelola. Karakter yang dibangun juga tidak menunjukkan kekuatannya. Hal ini diperparah dengan permainan elemen lain yang begitu minim. Musik, misalnya, tidak mampu memberikan dukungan suasana dan dinamika emosi adegan. Musik cenderung terpisah dari pertunjukan. Belum lagi, properti yang statis dan dekoratif semakin mengecilkan posisi dan kekuatan aktor. Belum lagi, penyusunan properti yang saling tumpang-tindih. Tentu ini sungguh merugikan.
Sebagai sebuah pertunjukan, Jas Merah hanya sebuah fragmen yang sangat mentah dan memerlukan proses pemasakan yang cukup “lama.” Cerita yang dibangun harusnya dapat dikelola lebih rumit dan menantang. Penokohan dapat diperdalam dengan berbagai adaptasi dan penambahan detail yang tidak disediakan oleh puisi aslinya. Sebagai sebuah saduran karya sastra, tentunya sentuhan dramatik harus lebih dominan dan mampu membuat teks puitis menjadi naratif dan punya kekuatan teatrikal yang menarik. Jas Merah ini, harusnya memberikan penutup bagi acara Artium Parthea, tetapi malah terjebak dalam fragmen yang terfragmentasinya sendiri. Sebuah ketidaktuntasan yang patut disayangkan.

Tentu saja, persoalan pertunjukan juga akan dapat diperparah oleh kondisi teknis. Sebagai contoh, penempatan posisi penonton yang tidak terkelola, persoalan lampu, dan persoalan teknis lain terasa cukup mengganggu pertunjukan. Penonton pada pertunjukan pertama didesain berbentuk tapal kuda. Sementara pertunjukan kedua dan ketiga tampaknya tidak didesain untuk penempatan penonton dengan jenis itu. Akibatnya, pertunjukan kedua dan ketiga mengalami jarak yang cukup jauh dengan penontonnya. Ruang kotak di tengah terpaksa dibiarkan kosong. Harusnya, pembawa acara mampu mengondisikan penonton untuk menempati ruang itu sehingga pertunjukan kedua dan ketiga dapat mencapai penyampaian maksimalnya. Sedangkan lampu yang digunakan rasanya terlalu mendongak ke atas sehingga mengurangi ruang permainan aktor. Tembakan cahaya lampu di plafon cukup mengganggu penonton. Persoalan teknis lain adalah operasional musik yang pada beberapa pertunjukan sangat kurang jelas karena kecilnya volume di tengah besarnya Gedung yang digunakan.
Sebagai sebuah perayaan ulang tahun teater, ketiga sajian ini cukup membuat kecewa. Ketiga sajian mentah ini harusnya memerlukan cukup waktu untuk mematangkannya sebelum benar-benar disajiikan. Sehingga, perayaan hari teater dunia ini tidak mengakibatkan sakit perut, atau bahkan muntah.


REFERENSI
Schneider, Rebecca. 2007. The document performance. dalam Manuel Vason. Encounters. Performance, photography, collaborations (editor Dominic Johnson). Bristol: Arnolfini.
Vanhaesebrouck, Karel. 2009. Theatre, performance studies and photography, a history of permanent contamination. Visual Studies 24(2): 97-106.


x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar