Bulan Maret
adalah perayaan yang paling ditunggu-tunggu oleh seniman dan peminat teater,
karena pada bulan ini diperingati Hari Teater Dunia. Sehingga sangat mudah
ditemui acara-acara dan pentas teater yang digelar di berbagai belahan dunia,
termasuk di Malang. UKM KUTUB merayakan hari ulang tahun teater dengan
menggelar Artium Parthea.
Secara
Bahasa, Artium dapat diterjemahkan
sebagai seni, sementara Parthea sulit
diterjemahkan. Kata yang kedua ini tidak dapat ditemukan dalam Bahasa-bahasa
yang ada. Dalam beberapa kamus online,
arti Parthea sama sekali tidak
ditemukan. Tapi anggap saja ini adalah sebuah pesta teater, tempat dimana kaum
teater berpesta dan saling apresiasi. Sayangnya, kita hanya disajikan bahan
mentah. Mari kita bahas satu-persatu dari bahan-bahan yang disajikan mentah
itu.
KITA DIPAKSA MENDENGAR IGAUAN
Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika harus menonton pertunjukan Lost oleh Teater Lorong dari Madura.
Panggung didesain dengan lokasi penonton berbentuk tapal kuda. Sebagaimana
dipahami, penempatan penonton seperti ini akan sangat membantu penyaji
menyampaikan pertunjukan dengan baik. Proses transfer berjalan dengan lebih
optimal. Tapi sayang sekali itu tidak terjadi.
Sejak cahaya muncul, kita disuguhi sebuah instalasi di beberapa titik;
kanvas dengan tulisan lost, level-level dan tumpukan boneka. Sekilas saja dapat
ditebak bahwa penggarap pertunjukan ini sangat dekat dengan dunia seni rupa.
Ketiga instalasi disusun dari sudut ke sudut. Beberapa saat kemudian muncullah
seorang aktor dan mengajak seorang penonton untuk masuk ke panggung. Perempuan
yang dipersilakan duduk ini mengikuti saja ajakan sang aktor.
Menarik memang bila kita menilik sebuah konsep teater dimana penonton
menjadi bagian dari sebuah pertunjukan. Tentu konsep paling umum adalah
pembuangan dinding ke empat sebagaimana umum digunakan dalam teater Indonesia.
Tidak ada jarak antara pertunjukan dengan penonton. Ke-intim-an ini sungguh
menggoda. Augusto Boal bahkan mengajukan sebuah konsep dimana penonton dapat
menentukan kelanjutan pertunjukan yang digelar. Theatre of Oppressed, genre teater yang dikembangkan Boal,
memberikan pengalaman yang sangat dekat dengan penontonnya. Dalam beberapa
pertunjukan seni pertunjukan tradisional juga sering muncul interaksi antara
penyaji dan penggarap. Sehingga sungguh menguntungkan apabila digunakan teknik
ini.
Tapi, apabila kita menyimak pertunjukan Lost secara lebih jauh, kita patut kecewa. Pelibatan penonton
sekedar basa-basi. Perempuan yang ditarik ke panggung menjadi benda mati,
semacam properti panggung.
Belum lagi, mentahnya pertunjukan juga ditunjukkan dengan minimnya
dinamika dialog. Kisah sedih hanya dilantunkan secara datar saja, seperti
sebuah igauan. Belum lagi, apabila disimak dengan lebih jeli, terjadi
perulangan-perulangan dialog yang tidak perlu. Hal ini terjadi, umumnya karena
proses penyusunan dialog yang belum matang. Dengan pola monolog macam ini, maka
jalannya pertunjukan menjadi sangat lambat, bahkan mungkin terlampau lambat dan
membosankan. Komunikasi intim yang hendak dibangun sama sekali tidak terjalin.
Kisah sedih yang disampaikan, meskipun sudah didukung dengan musik
instrumentatif yang sendu, sama sekali tidak mampu mempengaruhi penonton secara
lebih jauh. Belum lagi, Teknik blocking aktor tidak memberikan perhatian yang
seimbang pada tiga sudut penonton. Inilah yang mematikan panggung tapal kuda.
Sementara di akhir, penonton disuguhi adegan melukis yang sangat lama dan
membosankan. Aksi pembakaran lukisan di akhir pertunjukan juga gagal dilakukan.
Maka, penonton rasanya belum disuguhi makanan matang yang enak.
KOLABORASI MENARIK TAPI MENTAH
Pertunjukan kedua adalah sebuah eksperimen kolaborasi antara teater dan
fotografi. Sebuah usaha menarik untuk dikulik lebih jauh. Hanya saja, interaksi
antara foto dan pertunjukan teater yang disajikan Mlasti dengan judul Swing It, sangat jelas tidak tersusun
secara matang. Dialog, adegan, dan foto tidak menimbulkan sebuah pola yang
dapat dipahami secara utuh. Dialog dilontarkan menimbulkan adegan-adegan, tapi
foto yang disorotkan di background
panggung tidak memberikan korelasi dengannya. Foto-foto itu tidak memiliki
ikatan. Itu seperti sebuah reklame dengan berbagai kalimat provokatif, lalu
tiba-tiba ditempeli foto caleg. Sebuah perpaduan yang belum menemukan
harmoninya.
Kolaborasi antara foto dan pertunjukan harusnya memberikan perspektif
yang menarik bagi penonton. Sebuah visualisasi yang memiliki kekuatan berlipat
ganda. Hanya saja, penggabungan dua jenis seni ini dapat pula menjadi sebuah
petaka bila proporsinya tidak dijaga. Penonton akan kebingungan menentukan
focus dan pada akhirnya akan merugikan dalam penyampaian pesan dan cerita.
Teater, sebagai sebuah pertunjukan yang diselenggarakan secara langsung,
maka tidak mungkin dilakukan perulangan “sempurna.” Sementara foto sangat
bersifat reproduktif dan statis. Penggabungan dua ekspresi seni ini sebenarnya
sudah dilakukan sejak berabad lalu. Pada tahun 1858 Sarah Bernardt telah
menggunakan fotografi sebagai instrument penting dalam memanggungkan karyanya (Vanhaesebrouck,
2009). Sebuah foto mampu mengabadikan sebuah moment emosional yang dapat
digunakan untuk meningkatkan efek sebuah pertunjukan. Sehingga foto di sini
juga merupakan sebuah pertunjukan itu sendiri (Schneider, 2007). Penggabungan dua jenis ekspresi ini sekaligus
memberikan perpaduan yang menarik antara realitas dan ilusi.
Sayangnya, pertunjukan teater asal Blitar ini adalah pertunjukan yang
belum selesai. Sebagaimana disampaikan oleh sang aktor, pertunjukan ini
sejatinya masih dalam proses penyempurnaan. Keberadaan foto harusnya berjumlah
cukup banyak untuk mendukung perubahan-perubahan dan jalannya adegan. Akan
sangat menyenangkan menikmati hasil ”masakan”nya yang lebih matang nanti.
FRAGMEN TERFRAGMEN
Pertunjukan pamungkas yang disajikan oleh UKM KUTUB punya persoalan yang
lebih rumit. Pertunjukan yang disadur dari sebuah puisi berjudul Jas Merah itu tidak menunjukkan sebuah
cerita yang utuh. Kemunculan dua tokoh di atas panggung yang dipenuhi
barang-barang itu terasa sangat dangkal. Sebagai sebuah cerita, penonton memang
mudah sekali memahami bahwa seseorang telah diculik oleh pelaku seorang utusan
presiden. Itu mudah sekali ditangkap, tetapi sebagai sebuah pertunjukan tentu
itu saja tidak cukup. Percakapan dua tokoh itu tidak menghadirkan perdebatan
yang menantang dan penuh lika-liku.
Pada awal pertunjukan, beberapa menit dijalankan secara begitu lambat. Tensi-tensi
pertunjukan tidak dikelola. Karakter yang dibangun juga tidak menunjukkan
kekuatannya. Hal ini diperparah dengan permainan elemen lain yang begitu minim.
Musik, misalnya, tidak mampu memberikan dukungan suasana dan dinamika emosi
adegan. Musik cenderung terpisah dari pertunjukan. Belum lagi, properti yang
statis dan dekoratif semakin mengecilkan posisi dan kekuatan aktor. Belum lagi,
penyusunan properti yang saling tumpang-tindih. Tentu ini sungguh merugikan.
Sebagai sebuah pertunjukan, Jas
Merah hanya sebuah fragmen yang sangat mentah dan memerlukan proses
pemasakan yang cukup “lama.” Cerita yang dibangun harusnya dapat dikelola lebih
rumit dan menantang. Penokohan dapat diperdalam dengan berbagai adaptasi dan
penambahan detail yang tidak disediakan oleh puisi aslinya. Sebagai sebuah
saduran karya sastra, tentunya sentuhan dramatik harus lebih dominan dan mampu
membuat teks puitis menjadi naratif dan punya kekuatan teatrikal yang menarik. Jas Merah ini, harusnya memberikan
penutup bagi acara Artium Parthea, tetapi malah terjebak dalam fragmen yang
terfragmentasinya sendiri. Sebuah ketidaktuntasan yang patut disayangkan.
Tentu saja,
persoalan pertunjukan juga akan dapat diperparah oleh kondisi teknis. Sebagai
contoh, penempatan posisi penonton yang tidak terkelola, persoalan lampu, dan
persoalan teknis lain terasa cukup mengganggu pertunjukan. Penonton pada
pertunjukan pertama didesain berbentuk tapal kuda. Sementara pertunjukan kedua
dan ketiga tampaknya tidak didesain untuk penempatan penonton dengan jenis itu.
Akibatnya, pertunjukan kedua dan ketiga mengalami jarak yang cukup jauh dengan
penontonnya. Ruang kotak di tengah terpaksa dibiarkan kosong. Harusnya, pembawa
acara mampu mengondisikan penonton untuk menempati ruang itu sehingga pertunjukan
kedua dan ketiga dapat mencapai penyampaian maksimalnya. Sedangkan lampu yang
digunakan rasanya terlalu mendongak ke atas sehingga mengurangi ruang permainan
aktor. Tembakan cahaya lampu di plafon cukup mengganggu penonton. Persoalan
teknis lain adalah operasional musik yang pada beberapa pertunjukan sangat
kurang jelas karena kecilnya volume di tengah besarnya Gedung yang digunakan.
Sebagai
sebuah perayaan ulang tahun teater, ketiga sajian ini cukup membuat kecewa.
Ketiga sajian mentah ini harusnya memerlukan cukup waktu untuk mematangkannya
sebelum benar-benar disajiikan. Sehingga, perayaan hari teater dunia ini tidak
mengakibatkan sakit perut, atau bahkan muntah.
REFERENSI
Schneider, Rebecca. 2007. The document performance. dalam Manuel Vason. Encounters. Performance, photography,
collaborations (editor Dominic Johnson). Bristol: Arnolfini.
Vanhaesebrouck, Karel. 2009. Theatre, performance studies and
photography, a history of permanent contamination. Visual Studies 24(2): 97-106.
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar