Rabu, 12 Februari 2025

JANGAN MENCARI MONSTER DI JOKER: FOLIE A DEUX

JOKER 2 BUKAN JOKER 1

Membaca banyak review buruk tentang Joker: Folie a Deux di dua situs film populer seperti Rotten Tomatoes dan IMDB membuat gelisah. Beberapa calon penonton bahkan mengurungkan niatnya menonton akibat membaca review tersebut. Belum lagi di media sosial juga menggaungkan hal yang sama. Sebagian besar kecewa karena mereka tidak mendapatkan sosok monster dalam film ini. Setelah eskalasi emosi dan “kebrutalan” di Joker pertama, mereka seakan berharap menemukan “real” Joker di sini. Mungkin dalam bayangan mereka adalah Joker yang muncul di film The Dark Knight besutan Christopher Nolan.

Kita perlu mengingat bahwa setiap cerita yang dikembangkan oleh orang yang berbeda; pada level kemudian disutradarai oleh orang yang berbeda pula; pasti akan menghadirkan tafsir yang berbeda. Maka Joker di film garapan Todd Phillips dan Christopher Nolan jelas-jelas berbeda. Joker dalam film Nolan digambarkan berapa di puncak perkembangan “iblis”nya, sedangkan Phillips sepertinya ingin menggambarkan sosok Joker di fase awal dan cenderung lebih manusiawi.

Harus diakui bahwa usaha memanusiawikan Joker dapat dianggap berhasil di film pertama yang tayang tahun 2019. Banyak sekali pujian dan review bagus untuk film Joker pertama ini (IMDB memberikan nilai 8,4/10 dan Rotten Tomatoes sebesar 68%). Bahkan akting Joaquin Phoenix yang luar biasa diganjar dengan piala Oscar dalam kategori Aktor Terbaik. Pencapaian ini bahkan menciptakan idiom baru: “Orang jahat adalah orang baik yang disakiti.”

Berbeda dengan Joker: Folie a Deux yang cenderung lebih “manis.” Film ini memang sejak awal dipromosikan sebagai kisah cinta antara Arthur Fleck dan Harley Quinn. Sebagai konsekuensinya maka kesuraman dan tragedi yang menjadi kekuatan Joker pertama tidak bisa lagi dijadikan tumpuan dalam film kedua ini.


 

SINEMATOGRAFI MASIH CIAMIK

Seperti juga pada film Joker pertama, sinematografi dalam film kedua sangat cantik. warna yang digunakan tidak lagi hijau kebiruan seperti pada film pertama. Perbedaan warna ini tentu saja sangat mudah dipahami karena nuansa cerita dalam kedua film ini berbeda. Film Joker: Folie a Deux yang berfokus pada kisah cinta banyak menggunakan warna merah dan orange sebagai penggambaran romantisme yang dirasakan sosok Fleck. Tentu saja masih ada warna hijau kebiruan, sebagai representasi tragedi, tetapi porsinya sedikit dikurangi dalam film ini.

Jangan lagi tanya soal kualitas aspek production design, tata rias, busana, cahaya dan seluruh aspek sinematografi lain. Seluruhnya mampu membangun suasana yang intim bagi semua tokoh. Kesatuan visual yang indah ini bisa kita nikmati di hampir seluruh durasi film. Kita seakan dimanjakan dengan kualitas visual yang tidak dapat dipertanyakan.


Film ini memang banyak menghabiskan waktunya di Arkham State Hospital dan ruang pengadilan. Mungkin bagi banyak orang ini juga menyumbangkan kebosanan. Dan ini sangatlah normal. Beberapa setting secara imajinatif dipindahkan ke sebuah panggung teater yang juga tak kalah unik dan indah.

 

CERITA YANG TIDAK MEMUASKAN

Cerita film Joker: Folie a Deux memang bukan cerita klimaks yang membuat berdebar-debar. Film ini memang cenderung lebih ringan dibandingkan dengan film Joker pertama. Pusat cerita terletak di interaksi sederhana antara Fleck dengan petugas rumah sakit, pengacara, orang-orang pengadilan, dan tentu saja dengan Quinn. Tetapi, cukup bisa dapat dirasakan ada beberapa plot twist yang cukup tak terduga.

Tentu saja, kritik paling besar bagi film Joker: Folie a Deux adalah pada aspek cerita. Film ini sekali lagi dibangun dengan perspektif kisah cinta antara Arthur Fleck dan Harley Quinn. Kisah yang dimulai dengan kehilangan semangat hidup bagi tokoh Fleck yang telah mendekam sekian lama di dalam rumah sakit jiwa. Kini harus menghadapi keputusan apakah pembunuhan yang telah dilakukannya dapat diajukan ke pengadilan. Fleck dan pengacaranya kemudian berusaha keras membuktikan bahwa pembunuhan Fleck diakibatkan oleh kepribadian ganda yang dialaminya. Tapi usaha ini gagal dengan munculnya Harvey Dent. Maka mereka diseret ke pengadilan. Pada fase inilah Fleck kemudian menemukan tujuan hidupnya.

Fleck dalam film Joker: Folie a Deux memang tidak menghadapi masalah berat, sehingga sama sekali tidak bertransformasi. Tidak seperti Joker pertama yang memberikan begitu banyak kesempatan bagi Fleck untuk berubah dari pria malang yang terus-terusan sal menjadi sosok kejam. Film Joker: Folie a Deux justru banyak fokus pada pengenalan beberapa tokoh penting dalam perjalanan cerita Batman dan Gotham City.

Di sisi lain, perkenalan Fleck dengan Quinn yang menyamar sebagai pasien Arkham State Hospital. Perjalanan perkenalan inilah yang kemudian mewarnai romantisme kisah ini. Pada banyak imajinasi Fleck, perkenalan dan perbincangan mereka menjelma nyanyian dan tarian. Nyanyian dan tarian ini mengisi begitu banyak durasi film. Ini juga aspek yang begitu banyak dicemooh oleh penonton. Film ini memang menjadi seperti LaLa Land, atau serupa film Disney lain. Keberadaan nyanyian dan tarian ini memberikan sensasi baru sekaligus tipuan bagi penonton.

 

NYANYI DAN NARI, BERLEBIHAN SIH

Keberadaan nyanyian dan tarian yang begitu intensif ini menimbulkan reaksi negatif. Alih-alih terhibur, penonton yang berharap “bertemu” monster Joker yang lebih sadis dan kejam malah marah dan menghujat. Banyak sekali review yang menganggap bahwa Todd Philips telah merusak sosok Joker yang mereka kagumi.


Keberadaan nyanyian dan tarian yang begitu intens menurut saya memang berlebihan. Kita paham bahwa nyanyian dan tarian ini mewakili suasana hati dan imajinasi Fleck, tetapi intensitasnya sudah melebihi batas. Film ini justru memanggil ingatan saya tentang film LaLa Land dan A Star is Born. Kedua film ini berkelindan selama saya menonton Joker: Folie a Deux. Tentu ini merugikan mengingat bahwa otentisitas sebuah karya seni adalah hal paling penting.

Keberadaan nyanyian dan tarian, pada level yang lebih proporsional seharusnya memberikan gambaran yang “berbunga-bunga” yang mewakili perasaan Fleck. Jatuh cintanya yang begitu besar pada Quinn sangat jelas tergambar dalam nyanyian dan tarian. Mengapa butuh begitu banyak nyanyian dan tarian? Saya punya dugaan bahwa Todd Phillips hendak mewakili kekacauan berpikir Fleck, meskipun sedang jatuh cinta.

 

BIRTH OF NEW JOKER

Adegan penutup, ketika Fleck dipanggil karena ada tamu yang datang, dan kemudian disajikan adegan pembunuhannya oleh seorang anak muda, cukup membuat shock. Adegan pembunuhan ini telah membuat sang Joker menutup perjalanan hidupnya. Yang membuat shock berikutnya adalah adegan ketika Fleck mengalami momen menuju kematian, sang pembunuh lalu berperilaku mirip dengan Joker yang kita kenal di banyak film sebelumnya. Dia melakukan perobekan mulut dan histeria.

Sudah bisa ditebak, ini adalah jembatan menuju film berikutnya dimana sosok Joker akan menjadi sosok yang kita harapkan. Jadi film Joker: Folie a Deux sepertinya memang ditujukan bukan untuk memberikan sosok monster Joker seperti yang dikenal banyak orang, tetapi adalah transformasi penting dari sosok Joker manusiawi yang mengalami banyak kesulitan hidupnya berpindah ke maniak kejahatan.

Di akhir film juga ditunjukkan betapa Quinn kecewa pada Fleck karena dia menolak sosok Joker dan lebih memilih kembali menjadi Arthus Fleck. Adegan ini juga kemudian menguatkan bahwa Joker di masa depan bukan lagi Fleck.

Sosok Joker Fleck yang membuat kita simpati karena mengalami begitu banyak kesedihan dan kemalangan menutup kisahnya di sini. Fleck tetap menghadapi kemalangan di akhir hidupnya. Kita tetap simpati padanya sebagai sesama manusia. Joker yang manusiawi telah berhenti. Di perjalanan berikutnya kita akan berjumpa dengan Joker monster kejam, brutal dan maniak.

 

Semoga.

 

Malang, 5 Oktober 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar