Membaca banyak
review buruk tentang Joker: Folie a Deux
di dua situs film populer seperti Rotten Tomatoes dan IMDB membuat gelisah.
Beberapa calon penonton bahkan mengurungkan niatnya menonton akibat membaca
review tersebut. Belum lagi di media sosial juga menggaungkan hal yang sama.
Sebagian besar kecewa karena mereka tidak mendapatkan sosok monster dalam film
ini. Setelah eskalasi emosi dan “kebrutalan” di Joker pertama, mereka seakan
berharap menemukan “real” Joker di sini. Mungkin dalam bayangan mereka adalah
Joker yang muncul di film The Dark Knight
besutan Christopher Nolan.
Kita perlu
mengingat bahwa setiap cerita yang dikembangkan oleh orang yang berbeda; pada
level kemudian disutradarai oleh orang yang berbeda pula; pasti akan
menghadirkan tafsir yang berbeda. Maka Joker di film garapan Todd Phillips dan
Christopher Nolan jelas-jelas berbeda. Joker dalam film Nolan digambarkan
berapa di puncak perkembangan “iblis”nya, sedangkan Phillips sepertinya ingin
menggambarkan sosok Joker di fase awal dan cenderung lebih manusiawi.
Harus diakui bahwa
usaha memanusiawikan Joker dapat dianggap berhasil di film pertama yang tayang
tahun 2019. Banyak sekali pujian dan review bagus untuk film Joker pertama ini
(IMDB memberikan nilai 8,4/10 dan Rotten Tomatoes sebesar 68%). Bahkan akting
Joaquin Phoenix yang luar biasa diganjar dengan piala Oscar dalam kategori
Aktor Terbaik. Pencapaian ini bahkan menciptakan idiom baru: “Orang jahat
adalah orang baik yang disakiti.”
Berbeda dengan Joker: Folie a Deux yang cenderung lebih
“manis.” Film ini memang sejak awal dipromosikan sebagai kisah cinta antara
Arthur Fleck dan Harley Quinn. Sebagai konsekuensinya maka kesuraman dan
tragedi yang menjadi kekuatan Joker pertama tidak bisa lagi dijadikan tumpuan
dalam film kedua ini.
SINEMATOGRAFI MASIH CIAMIK
Seperti juga pada film Joker pertama, sinematografi dalam film kedua sangat cantik. warna yang digunakan tidak lagi hijau kebiruan seperti pada film pertama. Perbedaan warna ini tentu saja sangat mudah dipahami karena nuansa cerita dalam kedua film ini berbeda. Film Joker: Folie a Deux yang berfokus pada kisah cinta banyak menggunakan warna merah dan orange sebagai penggambaran romantisme yang dirasakan sosok Fleck. Tentu saja masih ada warna hijau kebiruan, sebagai representasi tragedi, tetapi porsinya sedikit dikurangi dalam film ini.
Jangan lagi tanya soal kualitas aspek production design, tata rias, busana, cahaya dan seluruh aspek sinematografi lain. Seluruhnya mampu membangun suasana yang intim bagi semua tokoh. Kesatuan visual yang indah ini bisa kita nikmati di hampir seluruh durasi film. Kita seakan dimanjakan dengan kualitas visual yang tidak dapat dipertanyakan.
Film ini memang
banyak menghabiskan waktunya di Arkham State Hospital dan ruang pengadilan.
Mungkin bagi banyak orang ini juga menyumbangkan kebosanan. Dan ini sangatlah
normal. Beberapa setting secara imajinatif dipindahkan ke sebuah panggung
teater yang juga tak kalah unik dan indah.
CERITA YANG TIDAK MEMUASKAN
Cerita film Joker: Folie a Deux memang bukan cerita
klimaks yang membuat berdebar-debar. Film ini memang cenderung lebih ringan
dibandingkan dengan film Joker pertama. Pusat cerita terletak di interaksi
sederhana antara Fleck dengan petugas rumah sakit, pengacara, orang-orang
pengadilan, dan tentu saja dengan Quinn. Tetapi, cukup bisa dapat dirasakan ada
beberapa plot twist yang cukup tak terduga.
Tentu saja, kritik
paling besar bagi film Joker: Folie a
Deux adalah pada aspek cerita. Film ini sekali lagi dibangun dengan
perspektif kisah cinta antara Arthur Fleck dan Harley Quinn. Kisah yang dimulai
dengan kehilangan semangat hidup bagi tokoh Fleck yang telah mendekam sekian
lama di dalam rumah sakit jiwa. Kini harus menghadapi keputusan apakah
pembunuhan yang telah dilakukannya dapat diajukan ke pengadilan. Fleck dan
pengacaranya kemudian berusaha keras membuktikan bahwa pembunuhan Fleck
diakibatkan oleh kepribadian ganda yang dialaminya. Tapi usaha ini gagal dengan
munculnya Harvey Dent. Maka mereka diseret ke pengadilan. Pada fase inilah
Fleck kemudian menemukan tujuan hidupnya.
Fleck dalam film Joker: Folie a Deux memang tidak
menghadapi masalah berat, sehingga sama sekali tidak bertransformasi. Tidak
seperti Joker pertama yang memberikan begitu banyak kesempatan bagi Fleck untuk
berubah dari pria malang yang terus-terusan sal menjadi sosok kejam. Film Joker: Folie a Deux justru banyak fokus
pada pengenalan beberapa tokoh penting dalam perjalanan cerita Batman dan
Gotham City.
Di sisi lain,
perkenalan Fleck dengan Quinn yang menyamar sebagai pasien Arkham State
Hospital. Perjalanan perkenalan inilah yang kemudian mewarnai romantisme kisah
ini. Pada banyak imajinasi Fleck, perkenalan dan perbincangan mereka menjelma
nyanyian dan tarian. Nyanyian dan tarian ini mengisi begitu banyak durasi film.
Ini juga aspek yang begitu banyak dicemooh oleh penonton. Film ini memang
menjadi seperti LaLa Land, atau
serupa film Disney lain. Keberadaan nyanyian dan tarian ini memberikan sensasi
baru sekaligus tipuan bagi penonton.
NYANYI DAN NARI, BERLEBIHAN SIH
Keberadaan nyanyian dan tarian yang begitu intensif ini menimbulkan reaksi negatif. Alih-alih terhibur, penonton yang berharap “bertemu” monster Joker yang lebih sadis dan kejam malah marah dan menghujat. Banyak sekali review yang menganggap bahwa Todd Philips telah merusak sosok Joker yang mereka kagumi.
Keberadaan nyanyian
dan tarian yang begitu intens menurut saya memang berlebihan. Kita paham bahwa
nyanyian dan tarian ini mewakili suasana hati dan imajinasi Fleck, tetapi
intensitasnya sudah melebihi batas. Film ini justru memanggil ingatan saya
tentang film LaLa Land dan A Star is Born. Kedua film ini berkelindan selama
saya menonton Joker: Folie a Deux.
Tentu ini merugikan mengingat bahwa otentisitas sebuah karya seni adalah hal
paling penting.
Keberadaan nyanyian
dan tarian, pada level yang lebih proporsional seharusnya memberikan gambaran
yang “berbunga-bunga” yang mewakili perasaan Fleck. Jatuh cintanya yang begitu
besar pada Quinn sangat jelas tergambar dalam nyanyian dan tarian. Mengapa
butuh begitu banyak nyanyian dan tarian? Saya punya dugaan bahwa Todd Phillips
hendak mewakili kekacauan berpikir Fleck, meskipun sedang jatuh cinta.
BIRTH OF NEW JOKER
Adegan penutup, ketika Fleck dipanggil karena ada tamu yang datang, dan kemudian disajikan adegan pembunuhannya oleh seorang anak muda, cukup membuat shock. Adegan pembunuhan ini telah membuat sang Joker menutup perjalanan hidupnya. Yang membuat shock berikutnya adalah adegan ketika Fleck mengalami momen menuju kematian, sang pembunuh lalu berperilaku mirip dengan Joker yang kita kenal di banyak film sebelumnya. Dia melakukan perobekan mulut dan histeria.
Sudah bisa ditebak,
ini adalah jembatan menuju film berikutnya dimana sosok Joker akan menjadi
sosok yang kita harapkan. Jadi film Joker:
Folie a Deux sepertinya memang ditujukan bukan untuk memberikan sosok monster
Joker seperti yang dikenal banyak orang, tetapi adalah transformasi penting
dari sosok Joker manusiawi yang mengalami banyak kesulitan hidupnya berpindah
ke maniak kejahatan.
Di akhir film juga
ditunjukkan betapa Quinn kecewa pada Fleck karena dia menolak sosok Joker dan
lebih memilih kembali menjadi Arthus Fleck. Adegan ini juga kemudian menguatkan
bahwa Joker di masa depan bukan lagi Fleck.
Sosok Joker Fleck
yang membuat kita simpati karena mengalami begitu banyak kesedihan dan
kemalangan menutup kisahnya di sini. Fleck tetap menghadapi kemalangan di akhir
hidupnya. Kita tetap simpati padanya sebagai sesama manusia. Joker yang
manusiawi telah berhenti. Di perjalanan berikutnya kita akan berjumpa dengan
Joker monster kejam, brutal dan maniak.
Semoga.
Malang, 5 Oktober
2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar