Cerita kecil, isu besar
Selain a Copy of My Mind, rasanya ini adalah salah satu karya film Joko Anwar yang punya cerita sederhana. Kisah di dalam film Pengepungan di Bukit Duri hanya berkisar antara hidup seorang adik yang mencari keponakannya, sialnya dia menemukan murid yang kurang ajar. Kesederhanaan ini–hebatnya Joko Anwar–berhasil ditempatkan dalam situasi yang rumit dalam kerusuhan ala tragedi 98 yang diperparah dengan sentimen etnis China. Maka cerita yang kecil ini menjadi ikut terseret dalam isu yang besar.
Entah kebetulan, entah sebuah kesengajaan, isu tentang kekacauan negara menjadi perhatian masyarakat akhir-akhir ini sebagai akibat dari kesewenang-wenangan eksekutif dan legislatif. Semua kebijakan itu membuat himpitan ekonomi dan ketidakpastian dalam berusaha. Semua itu diperparah dengan pengesahan undang-undang dan peraturan yang "ajaib." Kekacauan itu, dalam skala yang berkali-lipat secara imajinatif digambarkan oleh Joko Anwar dalam film ini. "Ini akan mungkin menjadi kenyataan di tahun 2027 bila tidak berubah," begitu kata Sang Sutradara dalam suatu podcast di YouTube.
Kisah sederhana ini melahirkan tokoh-tokoh yang cukup membantu dalam menghidupkannya, secara menonjol adalah tokoh murid paling nakal yang menggerakkan proses Pengepungan. Juga dikuatkan dengan tokoh utama yang menjadi tulang punggung film ini. Tokoh-tokoh lain rasanya kurang mendapat porsi yang cukup untuk mampu secara jelas menjadi manusia. Mereka tidak cukup diberikan waktu untuk menceritakan siapa dirinya. Ini kemudian membuat penonton tidak cukup mengenal dan simpati hingga akhir cerita.
Primadonanya adalah set
Entah mengapa, yang menonjol di beberapa film Joko Anwar adalah set dan production design. Sebagaimana film sebelum-sebelumnya, lokasi menjadi aspek yang mengagumkan. Kita seperti sedang digiring menuju Dunia entah berantah yang tidak terbayang lokasi real pengambilan gambarnya. Pernak-pernik sekecil apapun sangat berfungsi bagi setting lokasi sehingga meningkatkan rasa percaya pada cerita. Setting bar, juga sekolah, sangat mengagumkan secara ruang dan design.
Design sekolah sejak awal sudah memberikan nuansa tua, kacau, bahkan menurut saya pribadi lebih cocok disebut penjara daripada sekolah. Hal ini mendukung perilaku siswa-siswa yang kacau dan urakan. Ditambah dengan postur para security yang bertubuh tegap seperti sipir penjara. Pintu-pintunya yang terbuat dari besi, juga teralis yang mengisolasi penghuninya dari Dunia luar. Semua itu memberikan nuansa criminal yang kuat, juga sekaligus memberikan "penjara" dalam proses Pengepungan.
Yang tidak kalah rumit pembuatannya–setidaknya menurut saya–adalah lorong menuju bar para etnis China. Saya tidak bisa membayangkan betapa rumit mencari lokasi shooting ya. Di tengah kebosanan melihat set sekolah, saya rasa "tamasya singkat" melihat set ini menjadi sebuah penghiburan. Lengkap dengan warna-warna neon yang membuat lupa sejenak pada kelam.
Painful!
Kalau harus merangkum film Pengepungan di Bukit Duri dalam satu kata maka kata yang tempat adalah painful. Betapa tidak, film ini menyuguhkan nuansa warna yang cenderung muram, kejadian-kejadian yang menggiring menuju inti cerita adalah kekerasan dan penderitaan. Penjarahan dan pembakaran terjadi dimana-mana. Tokoh utama kita, Bapak Guru, juga merupakan korban dari peristiwa itu, bahkan sang kakak juga menjadi korban pemerkosaan.
Ketika proses Pengepungan, rasa sakit itu diperparah dengan darah yang mengucur dimana-mana. Pembunuhan yang terjadi di kedua belah pihak memberikan nuansa ngeri yang kuat. Hal ini diperparah dengan ruang-ruang terbatas yang dimiliki oleh sekolah. Kombinasi ini semua menghadirkan nuansa ketegangan, tekanan, dan kengerian yang sangat kuat. Juga umpatan-umpatan yang sering sekali keluar dari mulut anak nakal.
Setelah menonton film Pengepungan di Bukit Duri anda pasti akan merasakan sensasi yag menyakitkan. Berbeda dengan menonton film Jumbo, misalnya, yang memberikan sensasi kehangatan keluarga dan memory kanak-kanak yang ikut terpanggil. Di film Joko Anwar ini, kita dibiarkan ngeri hingga berjam-jam setelah keluar dari bioskop. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dituliskan. Maka sebaiknya anda rasakan sendiri.
"Gotham" menuju semesta lain
Kalau dibandingkan dengan film-film sebelumnya ini memang bukan film terbaik Joko Anwar. Tapi sebagai penonton awam, saya merasa ada Dunia yang hendak ditunjukkan Sang Sutradara. Sebuah Dunia kacau-balau yang diisi oleh manusia-manusia korup dan beringas. Hal ini mengingatkan saya pada Kota Gotham yang akhirnya melahirkan Batman. Juga pejabat korup dan masyarakat kacau yang melahirkan Gundala dan Sri Asih.
Sebagai sebuah kecurigaan, maka saya curiga Joko Anwar sedang memberikan landasan bagi kemunculan sosok hero selanjutnya. Dugaan ini mungkin berlebihan, tapi juga bukan mustahil mengingat Superhero ala Jagat Bumi Langit sudah lama sekali tidak muncul.
Saya merekomendasikan bagi mereka yang siap berpetualang dalam rasa ngeri untuk menonton film ini. Bisa saja pengalaman yang kita rasakan berbeda, tapi saya yakin kita masih akan sepakat bahwa Joko Anwar adalah Sutradara hebat, bahkan salah satu yang terhebat saat ini.
Selamat menikmati rasa ngeri.
8/10
Malang, 17 April 2025