Sabtu, 19 April 2025

PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI: PAINFUL!

Cerita kecil, isu besar

Selain a Copy of My Mind, rasanya ini adalah salah satu karya film Joko Anwar yang punya cerita sederhana. Kisah di dalam film Pengepungan di Bukit Duri  hanya berkisar antara hidup seorang adik yang mencari keponakannya, sialnya dia menemukan murid yang kurang ajar. Kesederhanaan ini–hebatnya Joko Anwar–berhasil ditempatkan dalam situasi yang rumit dalam kerusuhan ala tragedi 98 yang diperparah dengan sentimen etnis China. Maka cerita yang kecil ini menjadi ikut terseret dalam isu yang besar.


Entah kebetulan, entah sebuah kesengajaan, isu tentang kekacauan negara menjadi perhatian masyarakat akhir-akhir ini sebagai akibat dari kesewenang-wenangan eksekutif dan legislatif. Semua kebijakan itu membuat himpitan ekonomi dan ketidakpastian dalam berusaha. Semua itu diperparah dengan pengesahan undang-undang dan peraturan yang "ajaib." Kekacauan itu, dalam skala yang berkali-lipat secara imajinatif digambarkan oleh Joko Anwar dalam film ini. "Ini akan mungkin menjadi kenyataan di tahun 2027 bila tidak berubah," begitu kata Sang Sutradara dalam suatu podcast di YouTube.

Kisah sederhana ini melahirkan tokoh-tokoh yang cukup membantu dalam menghidupkannya, secara menonjol adalah tokoh murid paling nakal yang menggerakkan proses Pengepungan. Juga dikuatkan dengan tokoh utama yang menjadi tulang punggung film ini. Tokoh-tokoh lain rasanya kurang mendapat porsi yang cukup untuk mampu secara jelas menjadi manusia. Mereka tidak cukup diberikan waktu untuk menceritakan siapa dirinya. Ini kemudian membuat penonton tidak cukup mengenal dan simpati hingga akhir cerita. 


Primadonanya adalah set

Entah mengapa, yang menonjol di beberapa film Joko Anwar adalah set dan production design. Sebagaimana film sebelum-sebelumnya, lokasi menjadi aspek yang mengagumkan. Kita seperti sedang digiring menuju Dunia entah berantah yang tidak terbayang lokasi real pengambilan gambarnya. Pernak-pernik sekecil apapun sangat berfungsi bagi setting lokasi sehingga meningkatkan rasa percaya pada cerita. Setting bar, juga sekolah, sangat mengagumkan secara ruang dan design.


Design sekolah sejak awal sudah memberikan nuansa tua, kacau, bahkan menurut saya pribadi lebih cocok disebut penjara daripada sekolah. Hal ini mendukung perilaku siswa-siswa yang kacau dan urakan. Ditambah dengan postur para security yang bertubuh tegap seperti sipir penjara. Pintu-pintunya yang terbuat dari besi, juga teralis yang mengisolasi penghuninya dari Dunia luar. Semua itu memberikan nuansa criminal yang kuat, juga sekaligus memberikan "penjara" dalam proses Pengepungan. 


Yang tidak kalah rumit pembuatannya–setidaknya menurut saya–adalah lorong menuju bar para etnis China. Saya tidak bisa membayangkan betapa rumit mencari lokasi shooting ya. Di tengah kebosanan melihat set sekolah, saya rasa "tamasya singkat" melihat set ini menjadi sebuah penghiburan. Lengkap dengan warna-warna neon yang membuat lupa sejenak pada kelam. 


Painful!

Kalau harus merangkum film Pengepungan di Bukit Duri dalam satu kata maka kata yang tempat adalah painful.  Betapa tidak, film ini menyuguhkan nuansa warna yang cenderung muram, kejadian-kejadian yang menggiring menuju inti cerita adalah kekerasan dan penderitaan. Penjarahan dan pembakaran terjadi dimana-mana. Tokoh utama kita, Bapak Guru, juga merupakan korban dari peristiwa itu, bahkan sang kakak juga menjadi korban pemerkosaan. 

Ketika proses Pengepungan, rasa sakit itu diperparah dengan darah yang mengucur dimana-mana. Pembunuhan yang terjadi di kedua belah pihak memberikan nuansa ngeri yang kuat. Hal ini diperparah dengan ruang-ruang terbatas yang dimiliki oleh sekolah. Kombinasi ini semua menghadirkan nuansa ketegangan, tekanan, dan kengerian yang sangat kuat. Juga umpatan-umpatan yang sering sekali keluar dari mulut anak nakal. 


Setelah menonton film Pengepungan di Bukit Duri  anda pasti akan merasakan sensasi yag menyakitkan. Berbeda dengan menonton film Jumbo, misalnya, yang memberikan sensasi kehangatan keluarga dan memory kanak-kanak yang ikut terpanggil. Di film Joko Anwar ini, kita dibiarkan ngeri hingga berjam-jam setelah keluar dari bioskop. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dituliskan. Maka sebaiknya anda rasakan sendiri. 


"Gotham" menuju semesta lain

Kalau dibandingkan dengan film-film sebelumnya ini memang bukan film terbaik Joko Anwar. Tapi sebagai penonton awam, saya merasa ada Dunia yang hendak ditunjukkan Sang Sutradara. Sebuah Dunia kacau-balau yang diisi oleh manusia-manusia korup dan beringas. Hal ini mengingatkan saya pada Kota Gotham yang akhirnya melahirkan Batman. Juga pejabat korup dan masyarakat kacau yang melahirkan Gundala dan Sri Asih. 


Sebagai sebuah kecurigaan, maka saya curiga Joko Anwar sedang memberikan landasan bagi kemunculan sosok hero selanjutnya. Dugaan ini mungkin berlebihan, tapi juga bukan mustahil mengingat Superhero ala Jagat Bumi Langit sudah lama sekali tidak muncul. 


Saya merekomendasikan bagi mereka yang siap berpetualang dalam rasa ngeri untuk menonton film ini. Bisa saja pengalaman yang kita rasakan berbeda, tapi saya yakin kita masih akan sepakat bahwa Joko Anwar adalah Sutradara hebat, bahkan salah satu yang terhebat saat ini.

Selamat menikmati rasa ngeri.

8/10

Malang, 17 April 2025


Rabu, 12 Februari 2025

BABAK BELUR DIHANTAM HARU: catatan emosional pasca nonton 1 Kakak 7 Ponakan

HANTAMAN DEMI HANTAMAN

Beberapa menit saja film diputar, kita sudah langsung dihantam kesedihan. Tokoh Moko menjadi korban paling empuk. Pada menit-menit awal itulah dimunculkan sebab dari seluruh kesedihan dan haru ini. Moko yang hendak memulai perjuangan baru–lulus kuliah–sudah berencana untuk melanjutkan studi magister bersama sang pacar. Sebuah tahapan perjalanan yang umum terjadi pada seseorang.

Kisah umum dan ideal itu kemudian dihancurkan seketika oleh tragedi kematian dalam keluarga ini. Yang tertinggal bagi Moko adalah tiga keponakan berusia remaja dan satu bayi. Anak muda di usia 20an harus mengambil alih tanggung jawab orang tua bagi mereka. Pada periode ini kita ditunjukkan perjuangan Moko merawat keponakannya yang masih bayi. Penonton dibawa dalam rasa haru yang mendalam.

Belum lagi, tiba-tiba guru les musik Moko datang hendak menitipkan putrinya. Sebuah plot twist yang aneh tapi pada perjalanannya mampu dijalin dalam alur utama sehingga mampu menjadi satu pengayaan cerita (atau kalau dalam teori penulisan skenario disebut sebagai B-story). Orang baru yang masuk ke dalam keluarga ini seketika diterima dan menjadi keluarga baru.

Hantaman tentang Moko yang kehilangan pekerjaan karena tidak mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu juga menambah beban yang ada. Hantaman-hantaman ini ditutup dengan munculnya kakak Moko dan suaminya yang datang dari Australia. Kemunculan mereka berdua yang dianggap mampu menjadi support system bagi keluarga ini, justru berperan sebaliknya. Kakak ipar Moko justru menyelewengkan uang Moko untuk investasi yang tidak jelas.

Pergumulan akibat hantaman-hantaman ini–diperparah dengan kepolosan dan keinginan Moko untuk terus membantu keluarga–menjadi aspek yang membuat banyak penonton gemas sekaligus kasihan. Perpaduan rasa ini unik dan tidak dapat dideskripsikan dengan tepat.

  


KESEDERHANAAN YANG MONUMENTAL

Yang paling menonjol dari film Yandy Laurens adalah kesederhanaannya yang justru menjadi kekuatan. Betapa tidak, cerita yang diangkat dari cerita Arswendo Atmowiloto ini berkisar di antara konflik keluarga biasa. Tidak ada pertentangan asmara akibat perbedaan kekayaan, tidak ada konflik keluarga yang umum diakibatkan oleh pertengkaran orang tua, atau kisah-kisah klise lain yang banyak dijejalkan pada penonton melalui medium sinetron dan series.


Yandy mampu membuat penonton lupa tentang kesederhanaan karakter dan setting, tapi memikat dari sudut pandang cerita dan penokohan. Cerita yang relatif sederhana ini mampu digambarkan secara utuh, dengan detail-detail yang sekilas nampak sembarangan tetapi justru memberikan nuansa realis. Adegan-adegan yang sentimentil dan emosional diletakkan dalam durasi yang cukup panjang, tapi tidak membuat mual. Menurut saya, takarannya sangat pas.

Kesederhanaan yang juga sangat “manis” adalah penggunaan teknik sinematografi yang tepat. Kecilnya rumah yang dihuni banyak orang dengan banyak perabot mampu ditampilkan secara sangat meyakinkan. Layar tidak sedang disederhanakan dengan banyak scene close-up. Banyaknya scene yang disajikan dalam bentuk wide ternyata secara luar biasa mampu menggambarkan banyak aspek dalam kehidupan keluarga ini. Belum lagi detail properti yang tidak berlebihan dan sangat natural dan mampu memberikan nuansa rumah sangat sederhana dengan keriuhan di dalamnya.

Cahaya dalam film ini juga tidak berlebihan, tidak sedang ingin membuat penonton kagum karena banyak warna dan sumber cahaya yang aneka sudut. Cahaya sangat alami, sekaligus mampu secara tepat menangkap waktu matahari, tentu yang sangat cantik adalah ketika para tokoh berada di pantai. Coloring juga tidak dirancang ingin meningkatkan warna atau koreksi cahaya, yang nampak adalah semua dalam takaran yang sangat meyakinkan.

Semua kesederhanaan ini sama sekali tidak memancing statemen “gini doang?” tapi justru membuat penonton fokus pada aspek yang lebih penting: cerita.

 

AKTING MENGAGUMKAN DARI TOKOH KECIL

Akting para aktor dan aktris bukan dilakukan dengan teknik-teknik yang mengagumkan. Kesederhanaan karakter, dinamika emosi yang tidak terjadi secara ekstrim, memang tidak menuntut teknik akting yang khusus. Lalu apa spesialnya?

Justru, bagi mereka yang mendalami akting, berakting secara biasa justru bukan perkara mudah. Ada kecenderungan manusia untuk akting secara berlebihan di depan kamera, itu banyak dialami aktor baru. Semua aktor dan aktris dalam film ini memainkan peran yang sesuai dengan tuntutan tokoh dan cerita. Kesederhanaan ini sulit karena memerlukan rem yang bagus, atau dalam dunia tarik suara disebut sebagai pitch control.

Aktor seperti Chicco Kurniawan tentu tidak perlu dipertanyakan. Film-film terakhirnya sudah cukup menunjukkan kemampuan aktingnya yang mumpuni. Amanda Rawles cenderung tidak menonjol. Sementara pemeran keponakan-keponakan mampu memberi warna yang berbeda bagi cerita. Keakraban mereka sangat meyakinkan, khususnya diperkuat oleh Fatih Unru. Kekonyolan Nadif H.S. juga mengambil banyak perhatian penonton. Rasanya kita berterima kasih pada tokoh Ano yang diperankannya yang memberikan tawa di tengah air mata.

Bagi saya, akting yang sangat menonjol adalah akting Kawai Labiba yang berperan sebagai Gadis. Ekspresi wajah, gestur dan intonasi kecilnya mampu memberi kesan bagi film ini, meskipun hanya terlibat dalam beberapa adegan, dengan sedikit dialog. Adegan ketika Moko mengunjungi Gadis dan perbincangan di lapak Pop Ais inilah yang sangat menonjol. Ditambah imajinasi piano yang menjadi gold scene.


KESULITAN MENYUTRADARAI: BAYI DAN ANAK KECIL

Akting para aktor berada dalam takaran yang sangat pas. Tentu, ini juga peran Sutradara yang menjaga symphony ini dalam nuansa yang menyenangkan. Kekuatan Yandy ini perlu diacungi jempol.

Kekuatan Yandy dalam mengarahkan aktor tidak perlu dipertanyakan, terlebih ketika kita menonton film-filmnya akhir-akhir ini. Tapi dalam film 1 Kakak 7 Ponakan ini, kekaguman saya pada teknik penyutradaraan Yandy justru ketika dia mampu menampilkan bayi dan anak kecil secara tepat di tengah adegan. Terbayang bagaimana menyiasati polah-tingkah dan mood anak kecil yang random. Yandy berhasil melibatkan bayi dan anak kecil ini secara tepat dan meyakinkan. Jalinan antara posisi kamera, tata bunyi dan akting (khususnya respon aktor) yang tepat menjadikan adegan-adegan itu sempurna melibatkan bayi dan anak kecil.

Yadhy memang luar biasa, telah berhasil menyulap cerita sederhana yang berisi tokoh sederhana, menjadi karya yang berhasil membuat hampir semua penonton di bioskop banjir air mata.


Malang, 11 Februari 2025

SCORE: 8,5/10

JANGAN MENCARI MONSTER DI JOKER: FOLIE A DEUX

JOKER 2 BUKAN JOKER 1

Membaca banyak review buruk tentang Joker: Folie a Deux di dua situs film populer seperti Rotten Tomatoes dan IMDB membuat gelisah. Beberapa calon penonton bahkan mengurungkan niatnya menonton akibat membaca review tersebut. Belum lagi di media sosial juga menggaungkan hal yang sama. Sebagian besar kecewa karena mereka tidak mendapatkan sosok monster dalam film ini. Setelah eskalasi emosi dan “kebrutalan” di Joker pertama, mereka seakan berharap menemukan “real” Joker di sini. Mungkin dalam bayangan mereka adalah Joker yang muncul di film The Dark Knight besutan Christopher Nolan.

Kita perlu mengingat bahwa setiap cerita yang dikembangkan oleh orang yang berbeda; pada level kemudian disutradarai oleh orang yang berbeda pula; pasti akan menghadirkan tafsir yang berbeda. Maka Joker di film garapan Todd Phillips dan Christopher Nolan jelas-jelas berbeda. Joker dalam film Nolan digambarkan berapa di puncak perkembangan “iblis”nya, sedangkan Phillips sepertinya ingin menggambarkan sosok Joker di fase awal dan cenderung lebih manusiawi.

Harus diakui bahwa usaha memanusiawikan Joker dapat dianggap berhasil di film pertama yang tayang tahun 2019. Banyak sekali pujian dan review bagus untuk film Joker pertama ini (IMDB memberikan nilai 8,4/10 dan Rotten Tomatoes sebesar 68%). Bahkan akting Joaquin Phoenix yang luar biasa diganjar dengan piala Oscar dalam kategori Aktor Terbaik. Pencapaian ini bahkan menciptakan idiom baru: “Orang jahat adalah orang baik yang disakiti.”

Berbeda dengan Joker: Folie a Deux yang cenderung lebih “manis.” Film ini memang sejak awal dipromosikan sebagai kisah cinta antara Arthur Fleck dan Harley Quinn. Sebagai konsekuensinya maka kesuraman dan tragedi yang menjadi kekuatan Joker pertama tidak bisa lagi dijadikan tumpuan dalam film kedua ini.


 

SINEMATOGRAFI MASIH CIAMIK

Seperti juga pada film Joker pertama, sinematografi dalam film kedua sangat cantik. warna yang digunakan tidak lagi hijau kebiruan seperti pada film pertama. Perbedaan warna ini tentu saja sangat mudah dipahami karena nuansa cerita dalam kedua film ini berbeda. Film Joker: Folie a Deux yang berfokus pada kisah cinta banyak menggunakan warna merah dan orange sebagai penggambaran romantisme yang dirasakan sosok Fleck. Tentu saja masih ada warna hijau kebiruan, sebagai representasi tragedi, tetapi porsinya sedikit dikurangi dalam film ini.

Jangan lagi tanya soal kualitas aspek production design, tata rias, busana, cahaya dan seluruh aspek sinematografi lain. Seluruhnya mampu membangun suasana yang intim bagi semua tokoh. Kesatuan visual yang indah ini bisa kita nikmati di hampir seluruh durasi film. Kita seakan dimanjakan dengan kualitas visual yang tidak dapat dipertanyakan.


Film ini memang banyak menghabiskan waktunya di Arkham State Hospital dan ruang pengadilan. Mungkin bagi banyak orang ini juga menyumbangkan kebosanan. Dan ini sangatlah normal. Beberapa setting secara imajinatif dipindahkan ke sebuah panggung teater yang juga tak kalah unik dan indah.

 

CERITA YANG TIDAK MEMUASKAN

Cerita film Joker: Folie a Deux memang bukan cerita klimaks yang membuat berdebar-debar. Film ini memang cenderung lebih ringan dibandingkan dengan film Joker pertama. Pusat cerita terletak di interaksi sederhana antara Fleck dengan petugas rumah sakit, pengacara, orang-orang pengadilan, dan tentu saja dengan Quinn. Tetapi, cukup bisa dapat dirasakan ada beberapa plot twist yang cukup tak terduga.

Tentu saja, kritik paling besar bagi film Joker: Folie a Deux adalah pada aspek cerita. Film ini sekali lagi dibangun dengan perspektif kisah cinta antara Arthur Fleck dan Harley Quinn. Kisah yang dimulai dengan kehilangan semangat hidup bagi tokoh Fleck yang telah mendekam sekian lama di dalam rumah sakit jiwa. Kini harus menghadapi keputusan apakah pembunuhan yang telah dilakukannya dapat diajukan ke pengadilan. Fleck dan pengacaranya kemudian berusaha keras membuktikan bahwa pembunuhan Fleck diakibatkan oleh kepribadian ganda yang dialaminya. Tapi usaha ini gagal dengan munculnya Harvey Dent. Maka mereka diseret ke pengadilan. Pada fase inilah Fleck kemudian menemukan tujuan hidupnya.

Fleck dalam film Joker: Folie a Deux memang tidak menghadapi masalah berat, sehingga sama sekali tidak bertransformasi. Tidak seperti Joker pertama yang memberikan begitu banyak kesempatan bagi Fleck untuk berubah dari pria malang yang terus-terusan sal menjadi sosok kejam. Film Joker: Folie a Deux justru banyak fokus pada pengenalan beberapa tokoh penting dalam perjalanan cerita Batman dan Gotham City.

Di sisi lain, perkenalan Fleck dengan Quinn yang menyamar sebagai pasien Arkham State Hospital. Perjalanan perkenalan inilah yang kemudian mewarnai romantisme kisah ini. Pada banyak imajinasi Fleck, perkenalan dan perbincangan mereka menjelma nyanyian dan tarian. Nyanyian dan tarian ini mengisi begitu banyak durasi film. Ini juga aspek yang begitu banyak dicemooh oleh penonton. Film ini memang menjadi seperti LaLa Land, atau serupa film Disney lain. Keberadaan nyanyian dan tarian ini memberikan sensasi baru sekaligus tipuan bagi penonton.

 

NYANYI DAN NARI, BERLEBIHAN SIH

Keberadaan nyanyian dan tarian yang begitu intensif ini menimbulkan reaksi negatif. Alih-alih terhibur, penonton yang berharap “bertemu” monster Joker yang lebih sadis dan kejam malah marah dan menghujat. Banyak sekali review yang menganggap bahwa Todd Philips telah merusak sosok Joker yang mereka kagumi.


Keberadaan nyanyian dan tarian yang begitu intens menurut saya memang berlebihan. Kita paham bahwa nyanyian dan tarian ini mewakili suasana hati dan imajinasi Fleck, tetapi intensitasnya sudah melebihi batas. Film ini justru memanggil ingatan saya tentang film LaLa Land dan A Star is Born. Kedua film ini berkelindan selama saya menonton Joker: Folie a Deux. Tentu ini merugikan mengingat bahwa otentisitas sebuah karya seni adalah hal paling penting.

Keberadaan nyanyian dan tarian, pada level yang lebih proporsional seharusnya memberikan gambaran yang “berbunga-bunga” yang mewakili perasaan Fleck. Jatuh cintanya yang begitu besar pada Quinn sangat jelas tergambar dalam nyanyian dan tarian. Mengapa butuh begitu banyak nyanyian dan tarian? Saya punya dugaan bahwa Todd Phillips hendak mewakili kekacauan berpikir Fleck, meskipun sedang jatuh cinta.

 

BIRTH OF NEW JOKER

Adegan penutup, ketika Fleck dipanggil karena ada tamu yang datang, dan kemudian disajikan adegan pembunuhannya oleh seorang anak muda, cukup membuat shock. Adegan pembunuhan ini telah membuat sang Joker menutup perjalanan hidupnya. Yang membuat shock berikutnya adalah adegan ketika Fleck mengalami momen menuju kematian, sang pembunuh lalu berperilaku mirip dengan Joker yang kita kenal di banyak film sebelumnya. Dia melakukan perobekan mulut dan histeria.

Sudah bisa ditebak, ini adalah jembatan menuju film berikutnya dimana sosok Joker akan menjadi sosok yang kita harapkan. Jadi film Joker: Folie a Deux sepertinya memang ditujukan bukan untuk memberikan sosok monster Joker seperti yang dikenal banyak orang, tetapi adalah transformasi penting dari sosok Joker manusiawi yang mengalami banyak kesulitan hidupnya berpindah ke maniak kejahatan.

Di akhir film juga ditunjukkan betapa Quinn kecewa pada Fleck karena dia menolak sosok Joker dan lebih memilih kembali menjadi Arthus Fleck. Adegan ini juga kemudian menguatkan bahwa Joker di masa depan bukan lagi Fleck.

Sosok Joker Fleck yang membuat kita simpati karena mengalami begitu banyak kesedihan dan kemalangan menutup kisahnya di sini. Fleck tetap menghadapi kemalangan di akhir hidupnya. Kita tetap simpati padanya sebagai sesama manusia. Joker yang manusiawi telah berhenti. Di perjalanan berikutnya kita akan berjumpa dengan Joker monster kejam, brutal dan maniak.

 

Semoga.

 

Malang, 5 Oktober 2024