SATU
Dialah Pak Dirman
Lelaki penuh keteguhan
Melawan Belanda
Dari tandu gerilyawan
Dia berjuang dalam sakit
Dengan separuh paru-paru
Tapi tetap selalu bangkit
Bersama terus menyerbu
Masihkah mau kita belajar
Dari kegigihan dan keyakinan
Atau hanya terus berujar
Bahwa sejarah untuk dilupakan
DUA
Sebuah gambaran beberapa
pesawat tempur menggempur sebuah kota, nampak seperti sebah dokumentasi Arsip
Nasional. Orang-orang berlarian, berhamburan. Sementara pasukan keamanan
berusaha membalas dengan ala kadarnya. Api dimana-mana, tangisan menggema.
NARATOR : Enam puluh tujuh[1] tahun
lalu, Desember 1948, hanya tiga tahun setelah Indonesia diproklamirkan sebagai
negara merdeka, Belanda melancarkan Agresi Militer ke II. Belanda melanggar
seluruh perjanjian gencatan senjata dengan dalih Indonesia telah meneror
pasukan Belanda terlebih dahulu.
Pesawat-pesawat tempur
Belanda menjatuhkan bom-bom, pasukan mereka merangsek masuk kota Yogyakarta. Mendengar
serangan itu, Panglima Besar, Jenderal Soedirman yang baru dalam hitungan hari
menjalani operasi paru-paru, bergegas menuju istana Jogja untuk mengabarkan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya keluar dari Jogja untuk
menyelamatkan diri.
Tapi kedua Proklamator
bergeming. Bung Karno justru menyarankan sahabatnya itu untuk beristirahat di
rumah dan bersedia mengirimkan dokter untuk merawatnya.
Sang Jenderal menolak.
[1] Bisa disesuaikan berdasarkan tahun pementasan. Penyerangan Belanda
terhadap Yogyakarta terjadi pada 18 Desember 1948.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar