Kamis, 26 Juli 2018

LELAKI TUA DENGAN BANDARA DI KAKI DAN SAWAH DI KEPALA - Cerpen



Kakinya bergetar hebat. Sama sekali tak ada tenaga untuk menyangga tubuhnya yang tengah menua. Tubuh yang telah digunakan lebih dari enam puluh tahun itu sebetulnya belum begitu lemah. Tapi ada persoalan di dalam dada yang membuat semua tenaga menuju ke sana, sehingga bagian lain tak mendapat sisa tenaga sedikitpun.
Ia raih lengan kursi besi di sebelahnya, dia tumpukan separuh berat badannya pada tangan kanannya dan perlahan ia alihkan pantatnya menuju kursi. Amat perlahan dan sulit. Bagi kita yang baru mengalami tiga puluh atau empat puluh tahun kehidupan, itu sama sekali tak terbayangkan.  Tapi yang jelas, ia melakukannya dengan kecepatan maksimal. Sampai pada akhirnya, pantat itu sampai di landasannya dengan selamat.
Dadanya naik turun sambil wajahnya mengernyitkan sensasi encok di punggung. Memang, usia tua membuatnya tak banyak bergerak beberapa bulan terakhir. Tapi ada tekat yang demikian kuat yang membawanya kemari.

***

Lelaki itu pada semangat yang sedang tinggi-tingginya. Usianya baru menginjak dua puluh lima tahun. Otot lengan dan betisnya mencapai perkembangan luar biasa. Di bawah terik matahari bulan Juni peluhnya mengalir deras. Dia ayunkan cangkul dengan penuh tenaga. Lelaki muda yang menyimpan bara kerja di dalam dadanya adalah makhluk tak tertahankan.
“Kau dengar kabar?” Karsiman berteriak dari kejauhan. “Apa?” ia berbalik bertanya.
Memang, desas-desus itu berhari-hari ini menyebar bagai bau kentut ke seluruh penjuru desa. “Gila, bandara?” tanyaku heran. Sebagai pemuda yang tak sekalipun menginjakkan kaki di sebuah bandara atau ikut terbang dengan pesawatnya, rasanya cukup aneh bahwa sebuah bandara akan dibangun di daerahnya.
“Celakanya, kita semua mesti pindah,” lanjut kawannya itu. “Kalau kita tidak mau pindah, mereka akan mengusir kita.” Mendengar itu telapak tangannya mengencang. Kalau saja ada sebatang pisang di sekitarnya, dia pasti telah meninjunya dengan sekuat tenaga.
Sialnya, memang begitulah keadaannya. Dalam waktu dekat akan dibangun bandara internasional di desa mereka. Dan bangunan bandara itu akan memakan rumah dan sawah mereka. Beberapa bulan lalu ketika desas-desus itu pertama berhembus, tak ada satupun warga yang percaya. Apalagi semua tahu bahwa daerah itu adalah salah satu daerah yang terkena efek tsunami beberapa tahun lalu. Pada saat itu, puluhan rumah warga terkena imbasnya.
“Siapa orang gila yang mau kena tsunami?” celetuk salah seorang warga.
“Opo kowe mau jual tanahmu?” tanya sang kawan. “Ini tanah warisan, mosok aku mau jual? Gendeng piye?” jawabnya spontan.
Sebagian besar warga memang menolak rencana itu. Beberapa yang lain setuju karena dijanjikan akan diberikan ganti rugi yang layak. Sebagian besar para penolak mendasarkan keputusannya karena mereka sangat mencintai desa itu, lebih-lebih tanah mereka dilahirkan. Sebagai orang Jawa, mereka juga sangat menghormati leluhur mereka melalui makam-makam. Mereka bahkan secara rutin—setidaknya sekali setahun—untuk membersihkan, menambahkan pasir dan memberikan bunga di makam-makam leluhurnya.
Beberapa kali sekelompok LSM mengadakan diskusi-diskusi. Dari berbagai pembicaraan mereka, terlihat benar mereka mempunyai perhatian khusus pada kasus ini. Mereka bahkan terlihat sangat menggebu untuk menyarankan aksi protes. Banyak pula yang termakan provokasi itu sehingga pada suatu pagi mereka mengadakan demo. Berbagai tulisan mereka angkat di tangan. Spanduk-spanduk dibentangkan sepanjang jalan. Sebuah kain merah putih Nampak mengikat kepala mereka. Hingga siang tiba, mereka sangat semangat meneriakkan protes-protes: “Hentikan proyek! Hentikan pembangunan bandara! Kami tak butuh bandara! Bandara produk kapitalis!” bahkan muncul juga tangis dan umpatan. Warga yang sebagian besar adalah petani itu tetap gigih berdiri di depan kantor kepala desa.
Protes itu terjadi berkali-kali. Tapi sama sekali tak ada gelagat akan menang. Para aktivis bahkan menyarankan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Warga yang rata-rata hanya lulusan sekolah dasar sama sekali buta hukum. Mereka tak akan bisa membayangkan bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk mengajukan gugatan. Dan tentu, tak pernah muncul dalam mimpi mereka bagaimana sebuah persidangan itu terjadi. Beberapa diantara warga itu ketika mendengarkan saran-saran aktivis itu bahkan sama sekali tak berfikir soal prosedur yang harus ditempuh. Mereka malah berfikir harus memakai pakaian apa ketika berangkat ke pegadilan. Apakah setelan jarit dan kebaya kusam milik mereka cukup pantas untuk dipakai ketika di pengadilan. Para lelaki juga susah membayangkannya sebab apa yang mereka tonton di televisi sama sekali tak bisa mereka tirukan—mereka mengenakan kemeja bersih, celana kain tersetrika sempurna dan sepatu kulit mahal.
Segala perjuangan mereka lakukan. Beberapa sengaja menjual ternak untuk membiayai apa yang mesti dibiayai. Beberapa menunda membayar uang sekolah anaknya untuk digunakan dalam aksi-aksi itu. Bagi mereka, aksi protes adalah jalan satu-satunya. Sampai pada sore itu, cahaya matahari miring dengan darah mengalir. Ketika protes itu digelar di depan kantor Bupati, ketika warga yang sama sekali tak tahu harus bagaimana, ketika para tantara menghantamkan popor bedil dan memuntahkan isinya pada mereka. Satu bagian kecil yang selalu menjadi luka bagi lelaki tua itu adalah ketika dia lihat dada Karsiman berlubang.
Jauh setelah semua kejadian itu, tersisalah beberapa rumah saja yang tidak ditinggalkan. Sebagian besar warga telah pergi dari rumah dan ladangnya—sebagian karena terpaksa. Begitu juga Ahkam, Bersama rombongan warga lain, dengan sepeda dan gerobak yang dipunya, berbekal uang kompensasi yang tak seberapa, dia membawa barang-barangnya pergi dari desanya. Tempat dimana tangisan pertamanya terdengar dan sebagian tubuhnya—ari-arinya—dikuburkan di tanah yang sama.

***

Encok di punggungnya telah sedikit mereda. Sedetik kemudian udara dingin hasil alat pendingin menyerang tubuh tuanya. Semenjak Ahkam berhenti bekerja, tenaga dan ketahanan tubuhnya semakin menurun. Memang, begitulah sifat tubuh manusia, semakin tak digunakan semakin lemah.
Sembari melihat segala inci bangunan itu, ingatannya kembali terbuka. Pada suatu waktu, dimana dia berlarian di pematang sawah mengejar layang-layang. Sesekali kakinya tercebur sawah yang baru saja diairi. Pada waktu itu rumah masih sangat jarang. Sawah terhampar menyajikan warna hijau yang ranum.
Ketika itu, tak ada yang lebih menyenangkan dari kebebasan menentukan tempat bermain. Semua adalah lokasi bermain yang menyenangkan: sawah, halaman rumah, kebun, pohon jambu milik Pak Haji, pohon-pohon kelapa dan tak terhitung lagi lainnya.
Ketika ingatannya kembali pada masa ini, ketika encok mulai kembali menyerang, di tepian bandara telah terpasang kawat-kawat besi dengan duri yang menyakiti. Bukan hanya menyakiti kulit bila tergores olehnya, tapi juga bagi kebebasan. Anak-anak di jaman ini tak akan memahaminya.
Sudah lebih dari dua jam ia ada di bandara itu. Berjalan tertatih-tatih sambal melihat segala lekuknya. Para penumpang Nampak lalu Lalang. Mereka yang mengejar waktu karena terlambat bording pass. Mereka yang mencari tempat menunggu keberangkatan. Demikian juga para petugas yang tak pernah Lelah mengarahkan mereka yang tak tahu harus kemana. Hiruk pikuk itu terus terjalin begitu riuhnya, tapi dalam kepala si tua, hening, sama sekali tak ada apa-apa.
Ada rasa sepi yang begitu mengganggunya. Lelaki tua itu Nampak makin lemas. Mungkin lantaran sejak semalam sama sekali ia tidak makan sesuap pun. Sebab tak ada sama sekali yang bia dimakannya. Semenjak sang anak menikah dengan kekasihnya dan ikut pindah ke Tangerang, lelaki tua itu tahu diri. Dia tak ingin menyusahkan anaknya. Dia olah apa yang bisa ia dapatkan dari kebun berukuran 3 x 5 di depan rumahnya. Dan apabila sama sekali tak ada yang bisa dimakan, maka seperti hari ini, dia harus berpuasa setidaknya sehari penuh.
Lelaki tua itu menarik nafas sangat dalam. Dilihatnya pucuk-pucuk padi yang hijau digoyang-goyang angin. Sesekali burung pipit melintas memastikan apakah ada cukup bulir padi yang sudah bisa dipanen. Tak ada hiburan lain yang lebih berharga baginya.
Tapi ketika udara dingin kembali mengganggu lamunannya. Dingin yang seakan merambat dari lantai mahal melalui kedua kakinya itu telah sampai di dada. Dia rekatkan jaketnya lebih erat. Tangannya masih bergetar. Rasanya ada yang ingin lepas dari lehernya. Sesuatu yang selama puluhan tahun dia simpan dengan baik.
Nafasnya perlahan tersengal. Dia rekatkan jaketnya lebih erat. Lebih erat. Tubuhnya lemas. Mungkin lemas pada batasnya. Dalam detik yang berharga itu, didepannya terhampar segerombol pohon jagung yang begitu jangkung. Bunganya yang kuning memanggil-manggil serangga. Semilir angin menerbangkan sisa-sisa bunga yang mandul. Cahaya senja menembus di antara daun-daun yang Panjang dan berbulu. Oh, dia tak mungkin melupakannya.
Sementara kakinya tetap berpijak di lantai bandara. Angin dingin mengusir satu-satunya harta yang dia punya. Menghapus segala kenang. Menghapus segala derita. Kurasa dia telah berada di sana. Surga yang di sebagiannya ditanami padi yang hijau, dan sebagian sisanya kokoh dengan jagung yang berbunga. Cukup itu saja.

Malang, 26 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar