Kakinya
bergetar hebat. Sama sekali tak ada tenaga untuk menyangga tubuhnya yang tengah
menua. Tubuh yang telah digunakan lebih dari enam puluh tahun itu sebetulnya
belum begitu lemah. Tapi ada persoalan di dalam dada yang membuat semua tenaga
menuju ke sana, sehingga bagian lain tak mendapat sisa tenaga sedikitpun.
Ia
raih lengan kursi besi di sebelahnya, dia tumpukan separuh berat badannya pada tangan
kanannya dan perlahan ia alihkan pantatnya menuju kursi. Amat perlahan dan
sulit. Bagi kita yang baru mengalami tiga puluh atau empat puluh tahun
kehidupan, itu sama sekali tak terbayangkan.
Tapi yang jelas, ia melakukannya dengan kecepatan maksimal. Sampai pada
akhirnya, pantat itu sampai di landasannya dengan selamat.
Dadanya
naik turun sambil wajahnya mengernyitkan sensasi encok di punggung. Memang,
usia tua membuatnya tak banyak bergerak beberapa bulan terakhir. Tapi ada tekat
yang demikian kuat yang membawanya kemari.
***
Lelaki
itu pada semangat yang sedang tinggi-tingginya. Usianya baru menginjak dua
puluh lima tahun. Otot lengan dan betisnya mencapai perkembangan luar biasa. Di
bawah terik matahari bulan Juni peluhnya mengalir deras. Dia ayunkan cangkul
dengan penuh tenaga. Lelaki muda yang menyimpan bara kerja di dalam dadanya
adalah makhluk tak tertahankan.
“Kau
dengar kabar?” Karsiman berteriak dari kejauhan. “Apa?” ia berbalik bertanya.
Memang,
desas-desus itu berhari-hari ini menyebar bagai bau kentut ke seluruh penjuru
desa. “Gila, bandara?” tanyaku heran. Sebagai pemuda yang tak sekalipun menginjakkan
kaki di sebuah bandara atau ikut terbang dengan pesawatnya, rasanya cukup aneh
bahwa sebuah bandara akan dibangun di daerahnya.
“Celakanya,
kita semua mesti pindah,” lanjut kawannya itu. “Kalau kita tidak mau pindah,
mereka akan mengusir kita.” Mendengar itu telapak tangannya mengencang. Kalau
saja ada sebatang pisang di sekitarnya, dia pasti telah meninjunya dengan
sekuat tenaga.
Sialnya,
memang begitulah keadaannya. Dalam waktu dekat akan dibangun bandara
internasional di desa mereka. Dan bangunan bandara itu akan memakan rumah dan
sawah mereka. Beberapa bulan lalu ketika desas-desus itu pertama berhembus, tak
ada satupun warga yang percaya. Apalagi semua tahu bahwa daerah itu adalah
salah satu daerah yang terkena efek tsunami beberapa tahun lalu. Pada saat itu,
puluhan rumah warga terkena imbasnya.
“Siapa
orang gila yang mau kena tsunami?” celetuk salah seorang warga.
“Opo
kowe mau jual tanahmu?” tanya sang kawan. “Ini tanah warisan, mosok aku mau
jual? Gendeng piye?” jawabnya spontan.
Sebagian
besar warga memang menolak rencana itu. Beberapa yang lain setuju karena
dijanjikan akan diberikan ganti rugi yang layak. Sebagian besar para penolak
mendasarkan keputusannya karena mereka sangat mencintai desa itu, lebih-lebih
tanah mereka dilahirkan. Sebagai orang Jawa, mereka juga sangat menghormati
leluhur mereka melalui makam-makam. Mereka bahkan secara rutin—setidaknya
sekali setahun—untuk membersihkan, menambahkan pasir dan memberikan bunga di
makam-makam leluhurnya.
Beberapa
kali sekelompok LSM mengadakan diskusi-diskusi. Dari berbagai pembicaraan
mereka, terlihat benar mereka mempunyai perhatian khusus pada kasus ini. Mereka
bahkan terlihat sangat menggebu untuk menyarankan aksi protes. Banyak pula yang
termakan provokasi itu sehingga pada suatu pagi mereka mengadakan demo.
Berbagai tulisan mereka angkat di tangan. Spanduk-spanduk dibentangkan
sepanjang jalan. Sebuah kain merah putih Nampak mengikat kepala mereka. Hingga
siang tiba, mereka sangat semangat meneriakkan protes-protes: “Hentikan proyek!
Hentikan pembangunan bandara! Kami tak butuh bandara! Bandara produk
kapitalis!” bahkan muncul juga tangis dan umpatan. Warga yang sebagian besar
adalah petani itu tetap gigih berdiri di depan kantor kepala desa.
Protes
itu terjadi berkali-kali. Tapi sama sekali tak ada gelagat akan menang. Para
aktivis bahkan menyarankan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Warga yang
rata-rata hanya lulusan sekolah dasar sama sekali buta hukum. Mereka tak akan
bisa membayangkan bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk mengajukan
gugatan. Dan tentu, tak pernah muncul dalam mimpi mereka bagaimana sebuah
persidangan itu terjadi. Beberapa diantara warga itu ketika mendengarkan
saran-saran aktivis itu bahkan sama sekali tak berfikir soal prosedur yang
harus ditempuh. Mereka malah berfikir harus memakai pakaian apa ketika
berangkat ke pegadilan. Apakah setelan jarit dan kebaya kusam milik mereka
cukup pantas untuk dipakai ketika di pengadilan. Para lelaki juga susah
membayangkannya sebab apa yang mereka tonton di televisi sama sekali tak bisa
mereka tirukan—mereka mengenakan kemeja bersih, celana kain tersetrika sempurna
dan sepatu kulit mahal.
Segala
perjuangan mereka lakukan. Beberapa sengaja menjual ternak untuk membiayai apa
yang mesti dibiayai. Beberapa menunda membayar uang sekolah anaknya untuk
digunakan dalam aksi-aksi itu. Bagi mereka, aksi protes adalah jalan
satu-satunya. Sampai pada sore itu, cahaya matahari miring dengan darah
mengalir. Ketika protes itu digelar di depan kantor Bupati, ketika warga yang
sama sekali tak tahu harus bagaimana, ketika para tantara menghantamkan popor
bedil dan memuntahkan isinya pada mereka. Satu bagian kecil yang selalu menjadi
luka bagi lelaki tua itu adalah ketika dia lihat dada Karsiman berlubang.
Jauh
setelah semua kejadian itu, tersisalah beberapa rumah saja yang tidak
ditinggalkan. Sebagian besar warga telah pergi dari rumah dan ladangnya—sebagian
karena terpaksa. Begitu juga Ahkam, Bersama rombongan warga lain, dengan sepeda
dan gerobak yang dipunya, berbekal uang kompensasi yang tak seberapa, dia membawa
barang-barangnya pergi dari desanya. Tempat dimana tangisan pertamanya
terdengar dan sebagian tubuhnya—ari-arinya—dikuburkan di tanah yang sama.
***
Encok
di punggungnya telah sedikit mereda. Sedetik kemudian udara dingin hasil alat
pendingin menyerang tubuh tuanya. Semenjak Ahkam berhenti bekerja, tenaga dan
ketahanan tubuhnya semakin menurun. Memang, begitulah sifat tubuh manusia,
semakin tak digunakan semakin lemah.
Sembari
melihat segala inci bangunan itu, ingatannya kembali terbuka. Pada suatu waktu,
dimana dia berlarian di pematang sawah mengejar layang-layang. Sesekali kakinya
tercebur sawah yang baru saja diairi. Pada waktu itu rumah masih sangat jarang.
Sawah terhampar menyajikan warna hijau yang ranum.
Ketika
itu, tak ada yang lebih menyenangkan dari kebebasan menentukan tempat bermain. Semua
adalah lokasi bermain yang menyenangkan: sawah, halaman rumah, kebun, pohon
jambu milik Pak Haji, pohon-pohon kelapa dan tak terhitung lagi lainnya.
Ketika
ingatannya kembali pada masa ini, ketika encok mulai kembali menyerang, di
tepian bandara telah terpasang kawat-kawat besi dengan duri yang menyakiti. Bukan
hanya menyakiti kulit bila tergores olehnya, tapi juga bagi kebebasan. Anak-anak
di jaman ini tak akan memahaminya.
Sudah
lebih dari dua jam ia ada di bandara itu. Berjalan tertatih-tatih sambal melihat
segala lekuknya. Para penumpang Nampak lalu Lalang. Mereka yang mengejar waktu
karena terlambat bording pass. Mereka yang mencari tempat menunggu
keberangkatan. Demikian juga para petugas yang tak pernah Lelah mengarahkan
mereka yang tak tahu harus kemana. Hiruk pikuk itu terus terjalin begitu
riuhnya, tapi dalam kepala si tua, hening, sama sekali tak ada apa-apa.
Ada
rasa sepi yang begitu mengganggunya. Lelaki tua itu Nampak makin lemas. Mungkin
lantaran sejak semalam sama sekali ia tidak makan sesuap pun. Sebab tak ada
sama sekali yang bia dimakannya. Semenjak sang anak menikah dengan kekasihnya
dan ikut pindah ke Tangerang, lelaki tua itu tahu diri. Dia tak ingin menyusahkan
anaknya. Dia olah apa yang bisa ia dapatkan dari kebun berukuran 3 x 5 di depan
rumahnya. Dan apabila sama sekali tak ada yang bisa dimakan, maka seperti hari
ini, dia harus berpuasa setidaknya sehari penuh.
Lelaki
tua itu menarik nafas sangat dalam. Dilihatnya pucuk-pucuk padi yang hijau
digoyang-goyang angin. Sesekali burung pipit melintas memastikan apakah ada
cukup bulir padi yang sudah bisa dipanen. Tak ada hiburan lain yang lebih
berharga baginya.
Tapi
ketika udara dingin kembali mengganggu lamunannya. Dingin yang seakan merambat
dari lantai mahal melalui kedua kakinya itu telah sampai di dada. Dia rekatkan
jaketnya lebih erat. Tangannya masih bergetar. Rasanya ada yang ingin lepas
dari lehernya. Sesuatu yang selama puluhan tahun dia simpan dengan baik.
Nafasnya
perlahan tersengal. Dia rekatkan jaketnya lebih erat. Lebih erat. Tubuhnya lemas.
Mungkin lemas pada batasnya. Dalam detik yang berharga itu, didepannya
terhampar segerombol pohon jagung yang begitu jangkung. Bunganya yang kuning
memanggil-manggil serangga. Semilir angin menerbangkan sisa-sisa bunga yang
mandul. Cahaya senja menembus di antara daun-daun yang Panjang dan berbulu. Oh,
dia tak mungkin melupakannya.
Sementara
kakinya tetap berpijak di lantai bandara. Angin dingin mengusir satu-satunya
harta yang dia punya. Menghapus segala kenang. Menghapus segala derita. Kurasa dia
telah berada di sana. Surga yang di sebagiannya ditanami padi yang hijau, dan
sebagian sisanya kokoh dengan jagung yang berbunga. Cukup itu saja.
Malang, 26 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar